M. HATTA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penulis mengambil judul dan buku ini adalah karena Moh. Hatta adalah salah satu pejuang Indonesia. Ia adalah wakil presiden pertama dan ia berjuang bagaimana agar Indonesia ini merdeka. Ia adalah sosok yang patut untuk ditiru. Penulis bangga mempunyai pejuang sepertinya karena selain pintar ia juga orang yang serius dan hening.
Moh. Hatta tumbuh tanpa seorang ayah. Tetapi ia mendapatkan kasih sayang dari banyak orang. Ayahnya meniggal pada saat Hatta berumur delapan bulan. Ia sangat ingin ketemu kepada sosok ayahnya, akan tetapi sosok itu sudah tiada lagi.
Akhirnyapun Hatta tumbuh menjadi dewasa dan menjadi anak yang cerdas. Ia berjuang demi kemerdekaan indonesia bersama sahabatnya Ir. Soekarno. Mereka berjuang siang dan malam agar Indonesia ini merdeka. Akan tetapi banyak orang sekarang yang tidak menyadari itu. Mereka hanya ingin terima bersih .
Hatta pernah berjanji sebelum Indonesia merdeka ia tidak akan menikah. Tetapi itu semua telah terpenuhi. Ia pun menikahi Rahmi Rachim di sebuah villa sederhana di Mega Bandung, Bogor pada tanggal 18 November 1945.
Itu semua mengalpa penulis memilih judul buku ini karena ingin menghargai para pejuang dan ingin legih tau lagi tentang Moh. Hatta. 



1.2  Rumusan Masalah
§  Mengapa pers Jepang menjuliki Hatta sebagai Gandhi of Java ?
§  Bagaimana cara Hatta memproklamirkan kemerdekaan ?
§  Apa saja factor kedatangan belanda ke Indonesisa ?

1.3  Ringkasan
Karya tulis ini menceritakan tentang kehidupan Mohammad Hatta . penulis tertarik membuat karya tulis ini karena Hatta adalah salah satu pejuang Indonesia. Agar teman – teman mengetahui bagaimana susahnya merebut kemerdekaan itu. Harus rela berkorban nyawa, harta, dan juga keluarga. Maka dari itu mulai dari sekarang marilah kita menghargai perjuangan para pahlawan kita dahulu.

1.4  Tujuan Penelitian
1.      Sebagai syarat ketentuan lulus UAN/UAS
2.      Menambah wawasan salam bidang sejarah
3.      Mengetahui bagaimana susahnya memplokamirkan kemerdekaan Indonesia

1.5  Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat berguna bagi para remaja karena masih banyak remaja yang belum mengaetahui apa itu arti kemerdekaan sesungguhnya. Mereka hanya lah bersuka ria saja. Mereka tidak pernah memikirkan bagaimana susahnya para pejuang demi kemerdekaan ini. Maka dari itu marilah kita bangun remaja yang peduli akan masa perjuangan dulu. 

1.6 Sistematika Penulisan
a) Halaman Pengesahan
b) Moto dan Persembahan
c) Kata Penghantar
d) Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
1.2Perumusan Masalah
1.3Ringkasan
1.4Tujuan Penelitian
1.5Manfaat Penelitian
1.6Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
BAB V DAFTAR PUSTAKA
BAB VI LAMPIRAN                                                                               
BAB VII RIWAYAT HIDUP 

BAB II
KAJIAN TEORITIS

2.1       Melawan Tanpa Jeda
2.2       Kami Memanggilmu, Hatta
2.3       Surau Tampek Balaja Qur’an
2.4       Sarikat Usaha
2.5       Antara Makkah dan Batavia
2.6       Proklamasi
2.7       Dari Teluk Bayur ke Rotterdam
2.8       Indonesia Vrij
2.9       Di Haribaan Sang Kekasih
2.10     Perjumpaan Dua Sahabat
2.11     Orang – Orang yang Terbuang
2.12     Hadiah Perkawinan : Alam Pikiran Yunani

BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Putra Sang Fajar
3.1.1   Melawan Tanpa Jeda
Lepas Pantai Kutaraja, 5 Februari 1933
            Kapten kapal perang Belanda HNMLS De zeven Provincien, Eridanus, terkesiapa menerima kabar yang mengejutkan. Tangannya gemetar saat membaca kawat itu : “ segera sampaikan kepada manteri pertahanan bahwa kami sama sekai tidak dipengaruhi oleh ideology komunis, dan kami tidak menghendaki kekerasan. Tindakan kami ini merupakan sebentuk protes atas pemangkasan upah dan pengangkapan kawan – kawan kami. Tidak ada kerusakan apapun diatas kapal. Tidak ada korban jiwa, dan kami tetap menjalankan tugas sebagaimana biasa. Kami akan menyerahkan kapal ini juka pemerintah memenuhi permintaan yang telah kami sampaikan pada kawat sebelunhya. Tertanda, awak Etopa danm Pribumi.”
            Semalaman kapten kapal itu mengutuk dirinya sendiri. Kini, senuah senjata yang sangat hebat mengapung bebas di lautan Sumatra, bergerak dengan 16 knot menuju perairan Jawa. Akhirnya setelah enam hari berlayar, pada 10 Februari 1933, tepat pukul 9 pagi, sebuah bom yang dijatuhkan sebagai peringatan tepat mengenai sasaram. Dua puluh tiga pemberontak mati ditempat, sementara sisanya menyerahkan diri.
            Dari kota Den Haag Nederlanf, terror penguasa menyebar ke berbagai wilayah kekuasaan mereka hingga mencapai kepulauan Hindia Belanda. Orang – orang tang lagi bebas bergerak. Polisi rahasia Belanda bertebaran dimana mana. Penguasa kolonial menerbitkan larangan keras bagi siapapun untuk berkumpul, rapat, atau bersidang. Larangan keras ini diberlakukan kepada semua partai berhaluan nonkoperaso, yaitu PNI, Partindo, PSII, dan Permi
            Kegelisahan menyelimuti Nusantara. Banyak orang yang memilih diam di rumah, mengerut di balik selimut hingga mereka tersentak mendengar kabar yang sangat mengejutkan : Soekarno ditangkap ! ia kembali ditangkap beberapa saat setelah menerbitkan pamphlet polotiknya yang terkenal: Maju Indonesia Merdeka. Kabar itu menandai puncak kegelisahan dan ketakutan seluruh rakyat. Karena bagi mereka soekarno itu bukanlah orang biasa, tapi nyaris setengah dewa. Ia tak pernah lelah menyerukan perjuangan. Dan kini ia ditangkap kembali kemudian di buang !
            Penangakpan Soekarno diikuti serentetan penangkapan para pemimpin lainnya. Kebanyakan yang ditangkap adalah di Sumatera Barat. Di tengah kegelisahan, ia mengatakan bahwa ini adalah abad ke 20 seperti saat ini, yang menjadi dasar perjuangan adalah massa, orang ramai, bukan orang – orang seperti diponegoro atau Mazzini. Kini suara Hatta terdengar lagi. Lantang, dan lebih tegas. Tulisannya Daulat Ra’jat kembali mengingatkan bahwa pergerakan harus dibebaskas dari sosok pemimpin. Ia terus mengingatkan bahwa mereka tak sendirian. Bukan hanya bangsa Indonesia yang menderita akibat penindasan penjajah. Ia menyebutkan para pemimpin Asia, seperti Mahatma Gandhi di India yang tak pernah lelah dan bosan dalam memimpin gerakan nonkoperasi.
            Hatta gelisah karena setiap orang mengandalkan dan bertumpu pada pemimpin mereka. Karena itulah, tanpa merasa lelah, setiap saat ia berkeliling negri, menciptakan kader kader pecinta Indonesia. Ia tak pernah menyerah meskipun banyak orang yang meragukan kemampuannya menjadi pemimpin. Ia tak pernah bungkam meski ada yang bilang bahwa gerakan yang dilakukannya takkan pernah berhasil. Ia yakin Indonesia pasti akan merdeka dan masanya takkan lama lagi. Ia terus bergerak.
            Kesulitan telah memahat jiwa dan tubunya sebagai seorang pejuang. Jauh sebelulm itu, berbagai rintangan dan godaan mencoba menghempaskannya dari jalan perjuangan. Namun, hatta kukuh menapaki takdirnya sebagai pahlawan, pemimpin para pejuang, yang menuntun mereka Ke Arah Indonesi Merdeka. Dialah satu – satunya pahlawan Indonesia yang dengan keyakinannya penuh berjanji tidak akan menikah kecuali setelah Indonesia merdeka. Ia tak hendak menikah sebelum kekasih yang paling dicintainya, Indonesia, lepas dari belenggu penjajah. Dan, ia memenuhi janjinya.
            Godaan kehidup0an yang penuh kenikmatan dan kemewahan ia singkirkan. Sejak lulus MULO pada 1919, ia telah mendapat tawaran pekerjaan sebagai juru tulis di kantor pos pemerintah. Setelah lulus sekolah dagang ( PHS ) di Batavia pada 1921, pemerintah menawarinya pekerjaan dengan upah yang sangat besar, jauh lebih besar dari kepala sekolah Belanda. Orangtuanya pun dikenal sebagai saudagar besar, pedagang antarpulau. Jika mau, ia dapat menjadi pengusaha yang bergelimang harta. Namun, semua kenikmatan itu ia singkirkan. Ia jalani semua itu karena yakin, Indonesia akan merdeka. Ia ingin menanamkan keyakinan itu di dalam dada rakyat Indonesia. Mereka harus yakin, gerakan perjuangan kemerdekaan sebentar lagi akan menuai hasilnya. Sama halnya, ia juga pernah merasakan pahit getir hidup di balik jeruji ketika polisi Belanda menangkap dan memenjarakannya dengan tuduhan mengasut, pemberontakan. Hatta dan ketiga kawannya hanya menempati sel berukuran dua kali tiga meter dan yang ada didalam sel itu hanyalah sebuah lemari kecil dan pembaringan yang ada pada siang hari dilipat ke dinding. Selama lima bulan para pelajar Indonesia itu tak meraaskan nasi.
            Namun, berbagai tekanan itu justru membuat mereka semakin kukuh menempuh jalan perjuangan. Bahkan, ketika dua pengacara Belanda, Mr.Mobach dan Dr. J.E.W.Duys, yang juga merupakan anggota parlemen dar Partai Buruh Sosialis Belanda menawarkan diri untuk menjadi pembela mereka, Hatta merasa keberatan. Mereka berdua dating dan berusaha meyakinkan mereka bahwa polisi Belanda itu tidak adil dan bertentangan dengan hukum. Ia mengatakan bawha penahanan dan pengadilan atas Hatta dan kawan – kawannya sebagai “ ketidakadilan yang besar-het grote onrecth. Hatta menghargai keinginan mereka berdua, namun ia ingin menunjukkan sisi perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam pembelaan kasusnya. Ia ingin rakyat Belanda mengetahui bahwa penjajahan Belanda selama ini telah membuat rakyat Indonesia menderita. Ia sadar sepenuhnya bahwa penangkapannya itu telah menjadi perhatian seluruh Negara. Dan ia ingin memanfaatkan momentum itu untuk menunjukkan betapa system colonial telah menghancurkan kehidupan material dan spiritual rakyat Indonesia, Hatta pun menerima tawaran mereka dengan syarat, ia juga diberi kebebasan untuk mengungkapkan segala pemikiran and argumen pembelaannya.
            Hatta menyusun pidato pembelaan dirinya dan teman – temannya dalam sebuah tulisan dan mungkin menghabiskan waktu selama tiga setengah jam. Dihadapan para hakim dan penguasa colonial itu tanpa gentar sedikitpun Hatta menyerang dan menistakan tindakan pemerintah colonial. Ia sebut mereka sebagai penguasa borjulis dan berpikiran sempit. Ia juga menyebutkan berbagai kejahatan dan kekerasan yang mereka lakukan kepada Indonesia. Ia teriakkan dengan lantang Indonesia Vrij – Indonesia Merdeka.

3.1.2        Kami Memanggilmu Hatta
Bukittinggi, 12 Agustus 1902
            Matahari barus saja terbit di ufuk timur. Cahanyanya yang lembut menyentuh dan menyapa semesta. Cakrawala terbelah antara hitam dan keemasan. Malam masih belum menyibakkan seluruh tirainya. Semesta masih terlelap. Sunyi dan hening masih bertakhta. Gemercik air yang mengalir di sungai terdengar jelas. Aliran yang bening, bak gumpalan gumpalan beling meliuk menghhindari bebatuan; menyisir membawa butir – butir pasir. Disebuah rumah kayu berlantai dua, dia antara hamparan sawah dan lading, di lembah gunung Singgalang yang terbaring bagaikan raksasa tidur, seorang anak manusia baru saja dilahirkan ke dunia. Kehadirannya disambut semesta yang menggeliat. Hembus angin Bukittinggi yang dingin dan lembut mengahntarkan suara tangisnya ke seantero Aur Tajungkang.
            Seorang laki – laki mengenakan jubah dan bergegas memasuki rumah gudang dua lantai. Ia melintasi ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang keluarga, kemudian melangkah cepat menaiki tangga menuju kamar istrinya yang berada di lantai dua. Bunyi reket dan suara papan kayu beradu terdengar ritmis, dalam tempo yang cepat ia berjalan di lantai dua. Laki – laki itu adalah Muhammad Jamil ayah sang bayi. Wajah laki – laki itu bersinar bahagia karena putra yang dirindukannya telah lahir. Sang suanmi berjalan ketempat istrinya terbaring. Istrinya ditemani seorang wanita tua yang duduk disisi ranjang menemani istrinya Siti Saleha. Ia terus mendekap dan menimang bayinya gerak timangnya istirah ( istirahat ) sejenak. Pikirannya menerawang, lalu terengar bisikan lembut, “ aku menamaimu Muhammad Attar, Dia Yang Terpuji nan Harum.” Nama itulah yang pertama kali dilekatkan orangtuanya kepada bayi laki – laki itu. Seperti doa harapan yang melekat pada namanya, bayi itu tumbuh mewangi, menjadi pujaan anak negeri. Ia berkembang menjadi pemimpin para pahlawan. Pejuang tanpa jeda. Dimasa kecil, ibu dan saudaranya memangilnya “Atta” begitu juga teman – teman masa kecilnya. Semakin besar, namanya tumbuh dan berubah menjadi Hatta, Mohammad Hatta – Yang Terpuji Tak Berkesudahan. Nama itulah yang dikenal orang – orang hingga akhir hayatnya.
            Di tengah berbagai perjumpaan budaya itulah Mohammmad Hatta dilahirkan, disebuah rumah kayu berlantai dua. Rumah itu hanya berjarak dua kilometer dari pusat kota Bukittinggi ke arah timur menuju Payakumbuh. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan bilah bilah papan. Atapnya terbuat dari seng. Dibelakang rumah itu ada sebuah tebat yang cukup besar berisi ikan kaluih, yang bentuknya seperti gurami. Sementara di perkarangan sebelah kiri sampai bagian belakang rumah ada kandang kuda yang memuat 18 ekor kuda. Disbelah kanan rumah, dan disebelah kandang kuda terhampar sawah dan ladang yang cukup luas. Begitupun di depan rumah di seberang jalan raya dan jalan kereta, kita bisa memandang lepas ke arah Singgalang dan Merapi, karena tak ada bangunan lain yang menghadang. Mungkin sebab itulah orang – orang menyebuntya kampung Tengah Sawah Aur Tajungkang.
            Ayah kandung Hatta adalah Muhammad Jamil, putra Syaikh Batuhampar. Hatta tak pernah merasakan buaian kasih sayang ayahnya. Ia meninggal saat Hatta berumur delapan bulan. Saat ia tumbuh semakin besar, ibunya mengatakan, “ Anak gadang, kau benar – benar cerminan ayahmu. Engkau adalah perwujudannnya.” Teramat sering ibunya, Siti Saleha mengatakan seperti itu. Bagaikan samudra yang tak diamuk gelombang atau badai angin, raut wajah  itu menyimpan keheningan yang sangat luas dan dalam. Pikiran dan persaan yang berkecamuk di dadanya takkan mudah teraba dari raut mukanya. Wajah hening yang seakan menyimpan banyak rahasia. Seperti inikah sosok Muhammad Jamil ? Hatta tak pernah tau. Hatta tak pernah mengenal rupanya, meski lewat sepotong gambar. Hanya cerita – cerita dari ibunya dari Ayah Gaek Arsyad yang menjadi panduannya untuk melukis sosok ayahnya. Kata orang – orang tua, jika seorang anak sangat menyerupai ayahnya maka salah seorang di antara mereka akan segera pergi meninggalkan dunia demi memberikan jalan kepada yang lain. Hatta tak suka pikiran seperti itu. Ia tak mau dilahirkan dan tumbuh hanya unutk membunuh ayahnya.
            Iatak pernah tahu bahwa ayah kandungnya adalah Muhammad Jamil hingga ia berusia lima tahun. Ketika itu, Siti Saleha membawanya ke Batuhampat untuk berziarah ke makam ayhnyan dan bersilaturahim dengan keluarga besar ayahnya. Pengaruh keagamaan mengalir deras dalam darah Hatta. Ayah sari ayahnya, Syaikh Abdurrahman dikenal sebagai ulama besar ahli tarekat. Orang – orang memberinya gelar Tuanku Nan Tuo. Muridnya berjumlah ribuan dan berasal dari berbagai penjuru. Kebesaran nama Syaikh Batuhampar itu diwarisi oleh putra sulungnya, Syaikh Arsyad, yang bergelar Tuanku Nan Mudo. Hatta biasa memanggil dengan sebutan Ayah Gaek Arsyad. Selam berada di Bukittinggi, sekali enam bulan Hatta menemui Ayah Gaek Arsyad do Batuhampar. Ia sering menanyakan berbagai pertanyaan tentang pemahaman tauhid dan akidah yang tidak masuk akalnya tetapi diyakini banyak orang. Sebelum berziarah ke Batuhampar, Hatta menganggap ayah kandungnya adalah Haji Ning, saudagar yang menikahi Siti Saleha setelah Muhammad Jalil meninggal . Haji ning adalah saudagar asal Palembang yang menetap di Padang. Sepekan sekali ia pergi ke Bukittinggi untuk menjalankan usaha dagangnya dan menemui istrinya, Siti Saleha. Hatta merasakan limpahan kasih sayang dari semua orang. Dialah satu – satunya anak laki – laki Siti Saleha. Ia punya kakak perempuan yang dua tahun lebih tua dari pandanya yang bernama, Rafiah. Pernikahan bunya Siti Saleha dan Haji Ning melahirkan empar orang anak, dan semuanya adalah perempuan. Tetapi Haji Ning tidak pernah membedakan antara anak kandung dan anak tiri. Karena itulah Hatta tak pernah menyangka bahwa Haji Ning adalah ayah tirinya.
            Pak gaeknya, Ilyas gelar Baginda Merah, seorang pengusaha angkutan pos dan usaha perdagangan lainnya punya hubungan baik dengan pemerintah. Tebat di belakang rumahnya menjadi sarana yang mempererat hubungan itu. Ia sering memberikan di hari raya Idul Fitri, orang – orang Belanda itu mengiriminya cerutu Belanda yang terkenal. Karena hubungan baik itulah Hatta bisa bersekolah di sekolah ELS Belanda.
            Seperti yang sering dikatakan ibunya, sifat an pembawaan Hatta serupa benar dengan ayahnya, Muhammad Jamil. Ia tumbuh menjadi anak yang pendiam dan perenung. Buku menjadi pelai\rian yagn membawanya berkelana kemana – mana. Setiap kali pulang sekolah, ia akan kembali membuka buku pelajarannya. Barulah kemudian ia bermain dengan teman – teman sebayanya. Sore hari usai bermain bola rotan atau permainan lain, Hatta bersiap –siap untuk belajar ngaji di Surau Inyik Djambek. Selalu begitu setiap hari. Kadang – kadang Haji Ning membawakan buku – buku cerita dari Padang, dan Hatta selalu melahapnya hingga habis.
            Tak hannya itu, ia juga gemar memperhatikan berbagai peristiwa juga tingkah laku orang – orang disekitarnya. Ia suka cara Pak Gaek memperlakukan semua karyawannya. Ia memperlakukan mereka semua dengan baik. Pelayan di rumah dan tukang kuda ia perlakukan dengan sama, tak pernah membeda – bedakan. “ Kita sama – sama manusia,”begiut sering ia berkata kepada anak – cucu,” Kalau tidak karena mereka, tak dapat aku mengerjakakan pekerjaan sebanyak itu.” Selain usaha angkutan pos, ia juga menjual barang – barang kebutuhan rumah tangga untuk para pekerja kontrak di Sawah Lunto. Salah satu – satu ayah tiri Hatta. Pak Gaek mengatur bidang usahanya yang sangat banyak itu secarta efisien. Ia memberikan peran dan tanggung jawab kepada anak – buahnya untuk menjalankan usaha masing – masing. Mereka didoronguntuk berinisiatif mengambil keputusan. Itulah pelajaran oraganisasi dagang yang pertama kali dikenal oleh Hatta.
            Keragaman sifat dan perilaku orang – orang di sekitarnya memberikan ragam pelajaran dan pengalaman kepada Hatta yang suka merenung dan menelaah berbagai peristiwa yang berlangsung di sekitar dirinya. Setiap pagi, Hatta pergi ke sekolah naik bendi milik Pak Gaek. Kadang – kadang di waktu senggang, Pak Gaek mengajaknya naik bendi berkeliling desa, menyusuri daerah pinggiran Bukittinggi, dan tempat – tempat lainnya. Di saat – saat seperti itulah Pak Gaek sering bercerita kepadanaya tentang perlakuan Belanda kepada penduduk pribumi. Sambil menunjukkan perkebunan kopi atau tebu yang dilewati, ia jelaskan bahwa awalnya semua ini milik petani. Namun, mereka tak bis lagi menanam padi karena tanah mereka dikontrak untuk ditanami kopi atau tebu. Pelesir di waktu senggang itu memberinya kesempatan untuk mengenal masyarakat Minang dengan segala masalah sosialnya.
3.1.3 Surau, Tampek Balaja Qur’an

Surau tua itu tampak rapuh bagaikan seorang tua yang bongkok dimakan usia. Namun, saat kau memandangnya, ia akan membetotmu memasukinya, bernaung di bawah keteduhannya, dan bersimpuh dalam dekap kesahajaanya. Ia bagaikan seorang tua yang bijak dan sarat pengalaman. Beberapa bilah papan tampak lepas dari dinding. Lapisan seng yang menutupi atap tampak berwarna kecoklatan karena karat. Di siang hari, sinar mentari menerobos lewat lubang – lubang kecil menumbuhkan tiang – tiang cahaya yang bersilangan. Lantainya terbuat dari bilha – bilah papan yang menghitam dan mengilap karena sering dilewati dan diduduki. Jika kau berjalan, terdengar bunyi kereket. Semakin banyak orang masuk dan berjalan di dalamnya, semakin ramai bunyi kereket, seperti raminya suara anak – anak kecil yang bersahutan mengaji Al – Qur’an. Setiap melam, usai shalat magrib, anak – anak kecil itu duduk melingkar di suaru mengitari guru – tuanya masing – masing. Di sebut guru – tua bukan karena umurnya yang tua, tetapi karena mereka telah khatam belajar mengaji. Setiap lingkaran terdiri atas delapan hingga sepuluh orang. Pertama kali, guru – guru itu membacakan ayat Al –Qur’an dan kemudian anak – anak mengikutinya. Jika masih ada kesalahan yang mereka lakukan, guru mengulangi bacaannya hingga semua anak membacanya dengan benar. Setiap malam, usai magrib hingga sedikit lewat waktu isya, terdengar suara – suara bersahutan. Tidak seirama. Tidak kompak, dan tidak sama. Besar kecil, tinggi rendah, dan ada juga yang serak atau terbata – bata.
Masing – masing kelompok membacakan ayat dan surat Al-Qur’an yang berbeda. Kendati berbeda – beda, perpaduan suara itu menerbitkan kerinduan dan keteduhan. Tidak terdengar bising. Tidak juga gaduh. Beberapa anak kecil mengeja Huruf Arab, alif fatah a alif kasrah i, beberapa anak kecil yang lebih besar melafalkan ayat – ayat Al-Qur’an dengan lebih lancar, meskipun makhrajnya tidak begitu sempurna. Ada juga kelompok mangaji yang melantunkan ayat – ayat suci itu dengan suara yang merdu melagu, berirama, naik turun, membawa orang – orang yang mendengarnya melayang, menyusuri Ngarai Sianok, naik menapaki jalan – jalan setapak di Singgalang, lalu kembali berteduh di suaru Inyik Djambek. Begitulah orang tua pemimpin surau itu dipanggail oleh murid – murid dan jamaahnya. Syaikh Muhammad Djamil Djambek, itulah nama lengkapnya. Seluruh rambutnya berwarna putih. Begitu pun janggutnya yang dibiarkan tumbuh panjang. Tanpa kumis, tanpa jambang, mukanya memancarkan keteduhan sekaligus ketegasan. Saat berkata – kata, suaranya tidak keras, tidak pula pelan, seperti berbisik, namun terdengar jelas. Di bawah remang cahaya pelita, sinar matanya memancarkan ilmu dan kebijakan.
Setiap pagi bakda subuh dan pada malam – malam terjadwal, Inyik Djambek memberikan pengajian kepada jamaah surau itu. Kadang – kadang ia membacakan kitab – kitab tafsir atau hadis. Lebih sering lagi ia berceramah memberikan petuah tentang hidup, kini dan kelak. Ia sering mengutib ucapan – ucapan orang suci, hadis nabi, dan mendengarkannya dengan khusuk. Tak sepotong pun suara terdengar menyela bicaranya.
Setiap malam, bakda magrib hingga waktu isya tiba, ia duduk bersila di tempat imam. Bibirnya terus melafalkan zikir tanpa hendi. Kalimat – kalimat suci membisik lembut, seperti desau angin di bukit Pasaman. Suara bersahutan anak – anak kecil yang tengah belajar Al-Qu’ran tak dapat mengusiknya, atau bahkan menggerakkan tubuhnya yang terus duduk bersila. Hanya kepalanya yang kadang – kadang bergerak pelan ke kiri dan ke kanan. Ia seakan tenggelam di samudra keheningan. Bagaikan seorang lelaki yang tengah bercengkrama dengan kekasih tercinta, tak hendak disela.
Di masa mudanya, Inyik Djambek dikenal sebagai seorang parewa dan pamakan masak patah, sebutan yang dilekatkan pada seorang yang hidup tanpa mengenal aturan adat dan agama. Berasal dari keturunan bangsawan yang kaya raya, sejak kecil ia terbiasa hidup enak dan berfoya – foya. Semakin besar, adatnya itu semakin buruk. Setiap hari ia tak lepas dari kebiasaan minum tuak, judi, dan nyabung ayam. Ia baru mulai belajar shalat, mengaji, dan bahasa Arab ketika berusia 22 tahun. Semakin lama, semakin ia menyadari, bertahun – tahun usianya habis sia – sia tanpa makna. Sejak itulah ia bersungguh – sungguh mempelajari berbagai ilmu agama Islam ketika pergi haji ke Makkah bersama ayahnya. Di sana ia berguru kepada beberapa ulama terkenal pada masanya, seperti H. Abdullah Ahmad, Suaikh Serawak, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, juga kepada Syaikh Taher Jalaludin. Kegigihan dan ketekunannya mempelajari ilmu – ilmu agama telah mengubah parewa dan pamakan masak patah itu menjadi seorang ulama yang zahid dan bijak. Ia pulan guntuk mendidik dan mneyebarkan pengetahuan agama yang telah didapatkannya di tanah Haram. Di sinilah kini ia duduk bersimpuh, di suraunya yang sederhana namun di penuhi murid – murid yang dating dari berbagai daerah. Banyak di antara mereka yang mondok di sekitar surau. Banyak pula anak kecil yang belajar ngaji di sana. Setiap saat, dari pagi hingga malam, surau itu seakan tak pernah mati.
Pada sebuah lingkaran balaja quran, tampak seorang anak kecil. Wajahnya cerah. Serius. Mata bulatnya lincah menelusuri huruf demi huruf ayat – ayat suci. Ketika mengaji, suaranya tidak begitu merdu, pelan. Tidak mengalun. Tidak naik turun. Tanpa irama. Namun, bacaan Qur’annya terdengar pas. Begitu pun panjang pendeknya. Setiap huruf Arab itu keluar dari tempat keluar yang semestinya. Setiap huruf, harakat, dan kalimat Qur’an yang keluar dari mulutnya terdengar pas. Anak kecil itu bernama Mohammad Attar. Anak – anak kecil sebayanya memanggilnya dengan sebutan Atta.
Setiap malam, mulai bakda magrib, Hatta dan kawan – kawn sebayanya mengaji di surau Inyik Djambek. Sore hari, setelah bermain petak umpet atau bermain bola di lapangan kecil, Hatta segera mandi kemudian bergegas menuju surau. Jarak antara rumahnya dan surau itu kurang lebih satu kilometer. Untuk sampai di sana ia harus melewati pematang sawah dan melintasi beberapa kebun. Setibanya di sana, ia mendekati empang kecil, membasuk kakinya, dan kemudian melangkah memasuki surau. Sering kali ia pergi ke surau diantar Mak Gaeknya, tetapi kadang – kadang ia berjalan atau berlarian bersama kawan – kawan mengajinya melintasi pematang sambil berteriak – teriak kegirangan.
Selalu begitu. Di pagi hari ia belajar di sekolah rakyat lima tahun, dan sore harinya bergegas pergi ke suarau untuk belajar mengaji. Di antara anak – anak sebayanya yang sama – sama mengaji di surau Inyik Djambek, tidak banyak yang bersekolah. Pagi hari mereka bermain – main atau pergi ke sawah mengikuti orang tua mereka. Sore hari mereka bermain dan kemudian pergi mengaji ke surau. Hampir tak ada seorang pun anak di kampung sawah yang tidak bisa mengaji. Semua anak diharuskan pergi mengaji dan ilmu agama lainnya. Jarang di antara mereka yang pergi bersekolah. Jika ditanya mengapa tidak bersekolah, mereka bilang, “Buat apa ?. Sekolah itu kan bikinan Belanda untuk menjinakkan kita. Lebih baik dihauhi saja. Asal kita rajin mengaji, kita tidak akan kalah dalam pengetahuan dengan orang – orang yang tamat sekolah rakyat itu.”
Ucapan anak – anak itu tentu saja mengutip ucapan orang tua mereka. Pendidikan agama telah berurat akar di tanah Minang. Keinginan tertinggi orang tua – orang tua di dataran tinggi Agam itu adalah memberangkatkan anak mereka ke Makkah atau Kairo untuk belajar agama, kemudian pulang ke tanah air dan mengajarkan ilmu mereka kepada anak – anak negeri. Seperti itu pulalah keinginan Ayah Gaek Hatta, Tuanku Nan Mudo Syaikh Arsyad. Ia ingin agar putra mendiang saudaranya itu meneruskan pendidikan agama di tanah suci Makkah, kemudian melanjutkan ke Kairo. Ia telah bersepakat dengan bundo kanduang Hatta, Siti Saleha, untuk memberangkatkan Hatta ke Makkah, kelak setelah anak itu mnyelesaikan sekolah rakyatnya. Bahkan, rencana itu di percepat. Tamat atau tidak tamat sekolah rakyat, jika Pak Gaeknya pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibada haji, si kecil Hatta akan dibawa serta. Di Makkah ia akan tinggal bersama Haji Nurdin yang telah lama menetap di sana. Haji Nurdin adalah adik bungsu ayahnya yang disebut – sebut akan menjadi Syaikh Batuhampar jika Syaikh Arsyad meninggal.
Tak ada hasrat yang menggebu – gebu pada diri anak kecil itu untuk melanjutkan pendidikan agamanya di Makkah, tak juga ia punya keinginan untuk menolak. Ia hanya duduk menyimak saat keluarga ayah dan bundanya membicarakan soal pendidikannya. Ia belum lagi mengenal keuntungan sekolah umum dan sekolah agama. Ia tertarik melihat sosok ayah gaeknya yang tampak begitu agung dan suci. Kadang – kadang muncul keinginan untuk menjadi orang mamaknya itu. Banyak orang yang dating berguru kepadanya, baik dari Batuhampar maupun daerah – daerah lainnya. Mereka begitu menghormati dan memuliakan Ayah Gaeknya. Tak hanya berguru, banyak yang dating menemuinya dan beragam keperluan.
Enam bulan sekali, saat liburan sekolah, Hatta pergi berkunjung ke Batuhampar dan berziarah ke makam ayahnya. Selama liburan itu ia menginap di rumah Syaikh Arsyad. Selama tinggal disana, ia sering melihat Ayah Gaeknya itu menerima banyak tamu. Orang tua itu bagaikan toko serba ada yang menyidiakan kebutuhan. Dan, toko itu buka 24 jam penuh. Orang – orang datang membawa dan memimta berbagai keperluan. Hatta kecil begitu mengaguminya. Ia takjub. Betapa luas ilmunya. Betapa besar lemari pengetahuannya. Kebanyakan orang datang untuk meminta doa, atau meminta berkah. Anehnya, meski ribuan orang datang meminta, ia tak pernah kehabisan doa. Ada pula yang datang untuk meminta nasihat, atau menanyakan masalah agama. Semua orang yang datang dilayani dengan sabar, ramah dan lembut. Ia tak pernah menolak, atau membentak. Ia layani pula orang yang datang dan ingin agar dagangannya laku keras, atau lajang yang ingin dapat jodoh. Dan yang paling mengejutkan, Hatta pernah melihat seorang laki – laki tua datang dan langsung duduk bersimpuh di hadapan Syaikh Arsyad. Lalu laki – laki itu menangis tersedu – sedu. Tampaknya sungguhan, pikir Hatta. Ia berkata dengan suara yang tergagap di antara isak tangisnya, “Tuan Syaikh, marahilah orang tua yang hina ini. Tamparlah aku, ludahilah aku! Aku benar – benar orang yang bodoh dan hina. Tumpahkanlah maramu Tuan.” Ia merjauk. Meminta. Memaksa. Aneh. Tetapi, selayaknya pemilik toko yang baik, Syaikh tetap melayaninya dengan sabar, ramah, dan penuh perhatian.
Bibirnya tak pernah lelah menyunggingkan senyuman. Kebijakan tak pernah redup memancar dari wajahnya. Selalu seperti itu, termasuk ketika berhadapan dengan anak kecil. Sebagai ahli tarekat, ia tahu bahwa otak anak kecil tidak bileh dibebani ajaran agama yang sulit – sulit. Ia pandai menanam paham agama Islam dengan uraian yang mudah – mudah, yang melekat dalam jiwa Hatta untuk selama – lamanya. Uraiannya dalam pertemuan yang tidak begitu banyak itu berpokok pada dua tiga hal saja. Allah Tuhan Yang Maha Esa dan Mahakuasa, Tuhan seru sekalian alam. Allah menjadikan segala yang ada dilangit dan di bumi. Allah memberi kita rezeki. Sebab itu, kita harus berterima kasih kepada Allah. Belas kasih Allah kepada kita itu harus kita balas dengan mengasihi orang lain. Bagikan rezeko yang dikaruniakan Allah itu kepada orang lain yang tak punya. Kelak, Allah akan membalas budi kita itu dengan melimpah – limpah. Hatta melihat ucapannya yang bijak dan indah itu dipraktikkannya dalam perbuatan.
Hatta selalu senang berlibur ke Batuhampar dan berada dekat di sisi Ayah Gaek Arsyad. Ia senang mendengar cerita – ceritanya tentang para nabi, tentang sirah rasul, atau kisah para sahabat. Ia juga senang karena Ayah Gaeknya selalu bisa memberikan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan anak kecil seperti dirinya. Kini ia tahu, Tuhan tidaklah berupa layaknya manusia. Tuhan tidak seperti yang digambarkan oleh Haji Ismail dan Matur, yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di langit ketujuh diatas singgasana yang indah sekali, dilingkungi para malaikat dan bidadari. Malaikat dan bidadari itu menerima perintah yang harus disampaikan ke dunia dan melaporkan apa yang terjadi di dunia dari sehari ke sehari. Wajah Tuhan bagus benar, tidak ada taranya didunia ini. Rambut, kumis, dan jenggotnya putih tidak bercela – cela. Pandangannya tajam tetapi menenangkan. Sungguh pun berambut putih, Allah tidak pernah tua, tidak berubah – ubah, tetapi seperti itu selama – lamanya.
Mendengar ceirta Hatta, Syaikh Arsyad tersenyum dan mengatakan bahwa pandangan itu salah. Itu hanyalah karangan manusia. Manusia dan segala yang hidup di dunia ini adalah baru. Ciptaan. Alam, matahari, bulan, dan bintang semuanya baru. Semua itu ada yang menciptakannya. Memiliki awal dan akhir. Tuhan yang menciptakan tidaklah baru. Dia ada selama – lamanya, tunggal, tidak diciptakan. Allah yang tunggal tidak dapat serupa atau sama dengan ciptaannya. Kalau serupa, berarti Dia tak tunggal lagi. Allah tidak dapat di gambarkan dengan rupa manusia atau dengan bentuk apa pun di semesta ini. Keberadaan Allah dibuktikan oleh keberadaan ciptaannya. Allah Mahabesar dan Mahakuasa. Dengan cinta dan tawakal kepada Allah kita dapat merasakan adanya Allah. Tidak ada tempat takut, hanya kepada Allah. Orang yang berjalan di atas jalan Allah tidak perlu gentar, tidak perlu takut, meskipun seorang diri. Ia tidak perlu merasa terpencil, tersendiri di tempat yang sunyi dan jauh sekalipun. Allah senantiasa di sisinya. Itulah pangkal kekuatan baginya.
Hattta senang mendengarkannya. Ia tak lagi merasa takut, meski sendiri. Syaikh berbicara kepadanya seakan – akan sedang berbicara dengan seorang dewasa. Kadang – kadang ia mengutip ayat – ayat Al-Qur’an yang tak dapat dipahami oleh Hatta. Sepulangnnya dari Batuhampar. Sore hari, ketika tak ada tamu yang datang berkunjung, Hatta duduk di sisi Ayah Gaeknya kemudian mengadukan persoalan yang beberapa hari terakhir mengusik pikirannya. Ia bercerita bahwa anak – anak bule di sekolahnya menjelek – jelekkan orang Islam dan menghina negara Turki yang kalah pernag di Balkan. Itu kekalahan kedua yang dialami Turki setelah sebelum kalah melawan Italia di Tripoli. Hatta mengait – ngaitkan kekalahan Turki dengan takdir Allah. Mengapa Dia mengalahkan dan menghinakan hamba – hamba – Nya yang muslim ? Anak – anak Indonesia yang bersekolah selalu di pojokkan oleh anak – anak Belanda. Mereka menyamaratakan orang – orang Islam dan menyebutnya sebagai manusia – manusia kelas dua yang selalu kalah dan terhina.
Seperti biasa, Syaikh Arsyad tersenyum mebelai rambut Hatta. Ia bilang, semua yang terjadi di dunia ini sudah ditakdirkan oleh Allah. Sudah ada suratannya lebih dahulu. Kendati demikian, dalam segala perbuatannya, manusia tidaklah sama dengan mesin. Tuhan memberinya akal untuk menimbang buruk dan baik. Meskipun telah ada suratan takdir, manusia dianugerahi berbagai sifar dan bakat yang berlainan susunannya dari orang ke orang. Dengan akal dan keleluasaan yang di peroleh dari Allah ia dapat mengembangkan sifat – sifat dan bakatnya. Setiap manusia memiliki dalam dirinya nafsu untuk berbuat baik dan pula nafsu untuk berbuat jahat. Turki besar karena jiwa Islam, tetapi sultan – sultan Turki menganggap kebesaran itu hasil upaya mereka dan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Mereka melakukan kezaliman dan menjauhkan perbuatan dari tuntunan keadilan Ilahi. Jadi dapat dikatakan, kemunduran negara itu diakibatkan oleh perbuatan sultan – sultan dan para penguasanya. Entah di mana akhirnya, wallahu a’lam. Tuhan Mahakuasa, Maha – adil. Orang Isllam harus menanam dalam hatinya bahwa yang besar hanya Allah, Tuhan seru sekalian alam. Manusia itu kecil seperti butir pasir di padang pasir. Kita harus menyadari kekecilan dan kekerdilan diri kita. Hanya jasa yang baik yang dapat kekal, di duni dan akhirat. Seperti biasa, Syaikh Arsyad mengunci pembicaraannya dengan membacakan ayat – ayat Al-Qur’an yang tak dapat ditangkap isinya oleh anak kecil itu.
Ketenangan meliputi hati dan pikiran Hatta setelah mendengar uraian Syaikh Arsyaf. Ia tak akan lagi merasa terhina jika anak – anak Belanda itu mengelek – jelekkan dan menghina Turki atau negara Islam lainnya. Pandangannya terhadap Turki berubah sama sekali. Ia tetap bersimpati kepada rakyatnya, tidak lagi kepada sultannya. Apa yang ia dengar tentang despotisme Sultan Abdul Hamid memang mengerikan. Turki boleh saja menyebut dirinya negara Islam. Penduduk dan penguasanya pun mengaku muslim. Namun, mereka tidak mewujudkan Islam dalam hidup mereka. Semakin ia terpacu untuk mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan wawasan agar tidak kalah oleh anak – anak Belanda, dan semakin ia mengaggumi orang tua berjanggut putih itu.
Kelak, saat belajar di Nederland dan belajar banyak tentang keadaan bangsa – bangsa, Hatta mendapati kebenaran kata – kata Ayah Gaeknya. Betapa luas pengetahuannya, dan betapa bijak pemikirannya. Hatta merasakan betul, betapa Ayah Gaeknya itu sangat menyayangi dirinya. Kejernihan air mukanya mencerminkan jiwa yang murni. Kata – katanya selalu mendidik ke jurusan berbuat baik. Jiwa sosialnya pun begitu tinggi. Ia selalu bersikap ramah kepada semua orang, mengasihi fakir miskin dan orang yang datang untuk mengaji atau berziarah. Wajah dan tabiatnya itu tepat benar dengan kedudukannya sebagai ulama besar dan ahli tarekat. Pada kunjungan Hatta yang pertama ke Batuhampar, usia Syaikh Arsyad mungkin sudah lewat 50 tahun, tetapi rupanya tidak lebih tua dari prang yang berumuh 40 tahun. Badannya tegap berisi, ia selalu memakai jubah dan serban, baik di surau maupun di rumah. Sikap dan tingkah lakunya itu teramat menakjubkan si kecil Hatta. Melalui sosok sang mursyid itulah Hatta belajar bagaimana mesti hidup dan bergaul secara Islam. Ia pernah bilang kepada Hatta, muslim itu artinya “orang yang menyelamatkan”. Ujar rasul, seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya selamat dari lisan dan dari tangannya.
Betapa lembut kata – kata itu. Betapa damai. Sebab itulah ia sering bertanya – tanya dalam hati, mengapa harus terjadi Perang Paderi, perang yang memakan korban sesame orang Islam. Perang yang mengoyak kedamaian dan ketenangan ranah Minang. Megapa sesama muslim harus berperang dan berebut paham. Akibat perang itulah orang – orang Belanda mendirikan benteng pertahanan – Fort de Kock – di dataran Tinggi Agam, persis di tengah – tengah Bukittinggi.
Mengapa para panghulu agama itu memerangi para pemangku adapt hanya karena perbedaan paham ? Apakah mereka tidak paham bahwa ajaran Islam yang tertinggi adalah kedamaian dan kasih saying bagi seluruh alam ? Semakin dalam dipikirkan, semakin lama direnungkan, Hatta akhirnya kembali pada ucapan Syaikh Arsyad. Allah telah menetapkan takdir semua yang terjadi di dunia. Tinggallah manusia dituntun untuk mempergunakan akal dan perimbangannya. Bisa jadi, karena kedatangan orang – orang Belanda itulah orang – orang Minang menyadari keterbelakangan mereka. Atau bisa jadi, karena dominasi orang bule, Cina, dan Arab dalam dunia perdagangan, para pedagang di Jawa terdorong untuk mendirikan Sarikat Islam. Organisasi sosial inilah yang gencar mengajak orang – orang di penjuru tanah air untuk memajukan pendidikan dan ekonomi. Belajar, dan terus belajar. Gerakan Sarikat Islam itu terasa imbasnya hingga ke tanah Minang.
Sebelum muncul gerakan itu, orang – orang tua enggan menyekolahkan anak mereka ke sekolah rakyat. Kini, mereka berlomba – lomba mengirim anaknya ke sekolah. Mereka mulai insaf, sekolah adalah tangga kemajuan. Meski terlambat disadari, kedatangan orang Belanda dengan boncengan vudaya modernnya telah membangkan bangsa Hindia ini dari tidur lelapnya. Persis ketika orang – orang Eropa terkaget – kaget dalam Perang Salib menyaksikan kegemilangan peradaban muslim di Kordoba dan Timur Tengah. Kini, adengan yang kurang baik lebih sama kembali berulang dengan posisi yang terbalik.
Hatta melipat dan menyimpan rapat – rapat kesimpulan itu di dalam benaknya. Semakin kuat keyakinan dan cita – citanya untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas, lebih kaya dan lebih dalam. Bangsa Hindia harus bekerja keras menguasai pendidikan dan pengetahuan modern agar bisa melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kebebasan dan kemerdekaan harus direbut dan diperjuangkan, tidak hanya dengan senjata dan kekerasan, tapi juga dengan pengetahuan dan pemikiran. Ayah Gaeknya pernha mengatakan, begitu banyaknya peperangan dan pemberontakan yang dilakukan bangsa ini melawan Belanda, tetapi perlawanan mereka gagal karena mereka melawan sendiri – sendiri, tidak padu, tidak bersatu, dan tidak di dasari strategi yang baik. Sejak itulah mulai terbentuk keinginan dalam pikiran Hatta untuk terus belajar dan memperluas pengetahuannya. Ia ingin memajukan anak negeri dan membebaskannya dari belenggu penjajahan. Menurutnya, bangsa ini begitu lama dijajah oleh bangsa lain karena kebodohan dan kemiskinan mereka.
Sepertinya, takdir telah menuntunnya untuk menjadi pejuang yang berusaha memajukan bangsanya dari sisi yang berbeda dengan Ayah Gaeknya dan Datuk, Syaikh Abdurrahman. Ketika Pak Gaeknya berangkat ke Makkah untuk menunaikan haji, bundonya merasa khawatir karena Hatta masih terlalu kecil untuk dibawa pergi ke Makkah. Karena itulah Saleha tidak mengizinkan Pak Gaeknya membawa Hatta ke Makkah. Hatta pun meneruskan pelajarannya di sekolah rakyat. Ia hanya dua tahun bersekolah di Sekolah Rakyat. Pada tahun berikutnya Hatta pindah ke sekolah dasar Belanda, ELS (Europeesch Lagere School) di Bukittinggi. Menginjak tahun ke lima di ELS, ia pindah ke ELS Padang agar bisa mempelajari Bahasa Perancis. Tampaknya, rencana untuk belajar agama di Makkah semakin jauh dari kemungkinan terwujud. Bundanya, yang dibesarkan di tengah keluarga pedagang, muali mempertimbangkan untuk melanjutkan pendidikan Hatta ke sekolah dagang. Begitu pun Pak Gaek, Mak Gaek dan ayah tirinya, Ning Haji, seorang saudagar asal Palembang dan berkantor di Padang, mendukung keinginan Saleha. Haji Ning berjanji akan membiayai sekolah Hatta hingga tingkat yang paling tinggi. Jika perlu, belajarlah hingga ke luar negeri. Raihlah seluas – luasnya ilmu yang ingin Nakcik kuasai. Tak perlu Nakcik riaukan biayanya.
Tamat sekolah Belanda pertama, Hatta berniat melanjutkan pendidikannya ke HBS (Hogere Burgere School), atau sekolah menengah lima tahun. Namun, untuk melanjukan ke HBS, ia harus pindah ke Jakarta karena dianggap masih terlalu muda. Karena itulah Hatta melanjutkan pendidikannya di MULO. Selama di Padang, semakin jarang ia berhubungan dengan Ayah Gaeknya di Batuhampar. Semakin jauh pula kemungkinannya belajar di Makkah. Kendati demikian, syaikh Arsyad tetap berharap bahwa kemenakannya itu akan melanjukan pendidikan agamanya di Makkah. Ia ingin Hatta tumbuh menjadi ulama besar yang membimbim kaumnya menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Ia melihat sifat – sifat baik pada diri anak itu. Sudah bulat benar tampakanya keinginannya itu sehingga jauh – jauh hari ia membujuk Saleha dan Pak Gaek untuk memberangkatkan Hatta ke Makkah. Hatta tak ingin mencederai perasaan Ayah Gaek Arsyad. Ia begitu baik, begitu bijak, dan sangat kasih kepadanya. Menurutnya, kejernihan air muka Syaikh Arsyad, kemurnian jiwanya, rasa sosialnya yang tinggi, dan kesantunan akhlaknya kepada sesame adalah karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Benar – benar seperti batang padi. Semakin penuh bijinya, semakin runduk ia. Karena itulah Hatta tak pernah berani menyampaikan keinginan untuk bersekolah dagang ke Batavia kepada Ayah Gaeknya itu.
Selama belajar di Bukittinggi Hatta tetap rajin mengaji di surau Inyik Djambek. Pagi hari belajar di sekolah rakyat. Malam hari usai Magrib ia belajar mengaji dan ilmu agama di suaru. Tak pernah ia merasa malas atau enggan. Setelah tamat pelajaran mengaji, ia mulai memperlajari fikih dan tafsir. Ia juga mulai mengenal pelajaran bahasa Arab yang dibimbing langusng oleh Syaikh Djambek. Semua pelajaran itu terputus saat ia pindak ke Padang. Ia tak lagi menerima pendidikan agama secara teratur. Namun, berkat perjuangan para pengurus Sarikat Usaha, terutama sekretarisnya, Engku Marah Sutan, penguasa Belanda memperbolehkan pendidikan agama diajarkan di MULO.
Sejak awal, orang tua – orang tua di Padang ingin anak – anak mereka mendapat pendidikan agama di MULO. Keinginan mereka itu didukung oleh para ulama, terutama Haji Abdullah Ahmad yang mengajarkan agama di sekolah Adabiah, sekolah HIS partikelir, yag didirikan oleh Sarikat Usaha. Haji Abdullah Ahmad adalah seorang ulama terkemuka di Padang. Ia dikenal sebagai salah seorang dari tiga orang penganjur aliran modern dalam Islam di Sumatra Barat. Ajaran mereka berpokok pada pendirian Muhammad Abduh di Mesir. Seperti halnya guru agama Hatta di Bukittinggi, yaitu Syaikh Muhammad Jamil, haji Abdullah Ahmad juga pernah berguru di Makkah dengan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Bersama para pembaru Islam lainnya yang berasal dari Minangkabau, Haji Abdullah Ahmad aktif berdakwah pemurnian dan pembaruan Islam. Pada awalnya ia mendirikan sebuah surau di Jembatan Besi bernama Haji Rasul Karim Amarullah. Tidak lama kemudaian ia pindah ke Padang dan mengembangkan pendidikan agama di kota itu dengna menggunakan teknik dan metode pengajaran modern. Bersama para pengurus Sarikat Usaha, Haji Abdullah Ahmad berhasil membujuk pemerintah colonial memberikan jam pelajaran agama kepada anak – anak muslim yang bersekolah di MULO.
Dua penganjur pembaruan Islam yang lainnya adalah Syaikh Muhammad Jamil Djambek di Bukittinggi dan Haji Rasul Karim Amrullah di Padang Panjang. Sesuai dengan pendirian Muhammad Abduh, mereka mencoba menanamkan paham yang rasionil (rasional) dalam ajaran Islam. Mereka berusaha mengubah beberapa pandangan yang konservatif, yang tidak dapat lagi mengikuti perkembangan masyarakat. Menurut pendapat mereka, agama Islam harus memberi pimpinan kepada perkembangan itu. Misalnya, perekonomian modern senantiasa menghadapi masalah rante yang sifatnya berlainan dengan riba. Pemungutan rante itu yang selama ini dipandang haram, mereka bolehkan aras dasar sifat hokum Islam. Hukum dalam Islam mempertimbangkan baik dan buruk. Jika lebih besar baiknya dari pada buruknya hukumnya harus, artinya di bolehkan. Mereka juga bilang, memungut rente dibolehkan apabila dinyatakan secara terang – terangan dan tarif diumumkan lebih dahulu. Kalo itu sudah nyata, orang yang akan meminjam boleh menimbang sendiri apakah uang itu akan menguntungkan dirinya atau tidak. Para penganjur paham modern ini bekerja keras untuk memajukan pendidikan agama. Berbagai cara mereka lakukan untuk menentang kaum kolot. Misalnya, untuk menentang pendirian kaum kolot, Haji Rasul di Pandang Panjang sering memberi pelajaran agama dengan memakai dasi.
Keingingan orang – orang tua di Padang supaya di sekolah MULO diajarkan agama di luar mata pelajaran yang biasa, diperjuangkan oleh Sarikat Usaha kepada pemerintah. Sekretarisnya, Engku Marah Sutan tidak jemu – jemu mendatangi pembesar – pembesar daerah supaya kehendak itu dikabulkan. Pemerintah tidak akan rugi apa – apa, hanya memberi kesempatan kepada Haji Abdullah Ahmad mengajarkan agama Islam di pagi hari kepada anak – anak Indonesia yang beragama Islam. Ia juga mendekati kepala – kepala agama Protestan dan Katolik agar mereka membantunya memeperjuangkan masalah itu. Sesudah kira – kira delapan bulan memperjuangkannya, tercapailah tujuan itu. Pada paru 1918 terbit keputusan Pemerintah bahwa mulai tahun pelajaran 1918/1919 murid – murid sekolah Mulo di Padang diberi kesempatan mengikuti pelajaran agama satu jam seminggu menurut kepercayaan masing – masing, di luar tanggung jawab pimpinan sekolah. Pada jam agama yang ditentukan itu murid – murid Islam mendapat pelajaran agama dari Haji Abdullah Ahmad, murid – murid yang beragama Protestan dari seorang domine dan muri – murid Katolik dari seorang pastor. Domine dan pastor yang mengajar ditunjuk dari geraja masing – masing.
Hatta mendapatkan pengalaman baru dalam bidang pendidikan Islam. Selama ini ia belajar Islam melalui pengajaran tradisional. Banyak pengetahuan keagamaan, tauhid, ibadah, dan muamalah yang ia dapatkan dari guru tercintanya, Syaikh Arsyad di Batuhampar Payahkumbuh. Petuah – petuah dan pengajaran yang ia sampaikan pada setiap kesempatan liburannya benar – benar lekat dalam pikiran Hatta. Sementara pada hari – hari sekolah, Hatta mendapatkan pelajaran agama di surau Inyik Djambek. Kini, melalui Haji Abdullah Ahmad, Hatta mendapatkan pengalaman baru.
Haji Abdullah Ahmad mengajarkan agama dengan memberikan diktat berbahasa Indonesia kepada murid – muridnya. Diktat itu menjelaskan berbagai persoalan yang dianggap penting diketahui oleh anak – anak ketika menjelaskan suatu persoalan, ia selalu menghimpun pendapat ragam ulama yang dianggap paling mendekati kebenaran. Ragam nian mazhab para ulama yang menjadi rujukan penulisan diktatnya. Ia bilang, Islam merupakan agam universal. Ajarannya senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman. Jika muncul suatu persoalan yang tak terdapat sandarannya dalam Al-Qur’an dan hadis, bolehlah kita merujuk pada hasil ijtihad pikiran para ulama terdahulu. Jika pun para ulama terdahulu belum lagi mengenal persoalan itu, kita boleh pergunakan cara qiyas dengan mempertimbangkan sebab – sebab suatu hukum. Namun, ujarnya, cara apa pun yang kira rujuk, kita mesti ambil pendapat yang paling mendkati kebenaran, yang paling sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis.
Hatta mulai paham, mengapa para pemangku adapt dan para penghulu agama bersitegang satu sama lain, saling bertentangan, dan bahkan akhirnya berperang. Kesemestaan Islam memunculkan ragam tafsir dan makna. Rasul Muhammad tak memberikan petunjuk secara rinci, kecuali pada beberapa soal tertentu. Sementara, Islam terus berkembang ke seluruh pelosok dunia. Tentu saja perjumpaan budaya, adapt, dan keyakinan itu akan memunculkan pertentangan atau perpaduan. Namun, Hatta tak habis pikir, mengapa mereka mesti berperang ? Bukankah ajaran utama Islam adalah kedamaian dan keselamatan, rahmat bagi semesta alam ?

3.1.5 Antara Makkah dan Batavia
Kesadaran itu tak tumbuh dengan sendirinya. Beberapa kelompok masyarakat yang pernah merasakan pendidikan Barat, juga kaum pedagang yang merasakan pahitnya kebijakan penguasa kolonial, berusaha membentuk organisasi dan perkumpulan untuk memajukan rakyat. Salah satunya adalah Syarikat Islam. Perkumpulan para pedagang ini berperan penting pendidikan. Melalui berbagai cara dan media mereka berusaha menumbuhkan kesadaran baru pada diri anak bangsa. Gerakan yang berpusat di Jawa itu bergema ke seantero nusantara, memicu tumbuhnya berbagai gerakan kebangsaan. Semua gerakan itu bertumpu pada tujuan utama, yaitu menumbuhkan kesadaran masyarakat akan kehormatan dan jati diri mereka sebagai manusia merdeka serta mengampanyekan kemajuan pendidikan. Mereka mulai memasuki sekolah – sekolah umum atau mendirikan sekolah – sekolah partikelir. Selain itu, mereka juga berupaya menghimpun kekuatan ekonomi masyarakat sehingga orang – orang pribumi bisa bersaing dengan para pedagang Cina dan Arab dan meruntuhkan dominasi Belanda.

Tanah Minang yang sejak lama di kenal sebagai negeri para pedagang dan saudagar segera menyambut gema gerakan itu. Tidak hanya itu, tanah yang banyak melahirkan ulama besar ini menjadi lahan yang sangat subur bagi tumbuhnya berbagai organisasi sosial yang bergerak dalam bidang peningkatan ekonomi dan pendidikan, termasuk di antaranya Sarikat Usaha dan Kerukunan Orang Minang. Para alim penghulu agama mendayungi arus modernitas dengan mendirikan sekolah – sekolah partikelir yang mengajarkan pengetahuan umum selain pengetahuan agama. Sebagian kaum agama yang awalnya berorientasi ke Makkah dan Timur Tengah dalam urusan pendidikan, kini mulai mengadopsi metode dan pengetahuan modern. Kendati demikian, semua perkembangan itu tidak dapat memadamkan hasrat sebagian alim untuk meneruskan pendidikan anak – anak merdeka ke Makkah atau ke Kairo. Ajaran agama telah mendarah daging dan berakar kokoh dalam kehidupan orang – orang Minang. Di tengah situasi seperti inilah Mohammad Hatta disebarkan.

Ayah Gaeknya, Syaikh Arsyad, ingin agar Hatta meneruskan pendidikannya dalam jurusan gama. Tamat atau tidak sekolah rakyat, Syaikh Arsyad ingin agar Hatta diberangkatkan ke Makkah untuk mempelajari ilmu agama dan kemudian melanjutkannya ke Mesir. Ia ingin Hatta tumbuh menjadi ulama besar meneruskan tradisi kakeknya, Syaikh Batuhampar, yang dikenal sebagai ulama besar ahli tarekat. Namun, ninimamak, bundo, mak gaek, dan pak gaeknya ingin agar Hatta melanjutkan pendidikan di sekolah umum dan memperdalam keahlian berniaga. Begitu pun ayah tirinya, Haji Ning, saudagar yang menjalankan berbagai macam usaha. Hatta, yang masih sangat kecil tidak bisa berbuat apa – apa. Ia belum menyadari sepenuhnya apa yang ia inginkan. Ia sendiri sangat menghormati dan mengagumi Ayah Gaeknya. Namun, ia pun tak bisa mengabaikan begitu saja keinginan keluarga ibundanya.

Gambaran tentang apa yang diinginkannya mulai terbentuk ketika memasuki tahun kelima sekolah rakyat, ia harus pindah ke Padang. Di kota ituah ia mulai berkenalan dengan para penggiat paham modern, baik dalam bidang agama maupun pengetahuan umum. Di sana pula ia mulai mengenal para tokoh pergerakan baik di tingkat lokal maupun nasional dengan segala pemikiran dan pandangannya. Benih – benih kebencian kepada penjajah Belanda mulai tumbuh menjadi keinginan untuk memperjuangkan kemerdekaan anak negeri.
Pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengembangan pendidikan dan ekonomi bagi anak – anak bangsa sehingga mereka dapat melepaskan diri belenggu penjajah. Selain itu, sejak kecil ia tumbuh di lingkungan keluarga ibunya yang dikenal sebagai pengusaha. Sejak kecil ia telah terlibat dan menyaksikan praktik ekonomi perdagangan yang dijalani keluarganya. Begitu pun ketika ia bersekolah di Padang dan tinggal bersama ayah tirinya, Haji Ning. Semua itu menumbuhkan keinginan untuk memperdalam pengetahuan dalam bidang perdagangan dan ekonomi. Karena itu, setelah menuntaskan pendidikannya di MULO (Meer Uirgebreid Lagere School) di Padang pada 1919, Hatta memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya pada sekolah dagang (Handel Middlebare School) di Batavia.
Sebelum berangkat ke Bativia Hatta berziarah ke makam ayahnya di Batuhampar dan meminta restu kepada Ayah Gaek Arsyad dan keluarga lainnya. Hatta tak kuasa mengatakan apa – apa di hadapan Ayah Gaek Arsyad. Ia benar – benar merasa malu dan takut akan melukai perasaan paman yang sangat disayanginya itu. Hatta duduk bersimpuh di sisi bundanya, Siti Saleha, yang juga menundukkan kepalanya, tak kuasa mengatakan maksud kedatangannya. Sejak semula, Syaikh Arsyad ingin agar Hatta melanjutkan pendidikannya di sekolah agama, mula – mula di Makkah kemudian di Mesir. Beberapa lamanya, tak ada seorang pun yang memulai pembicaraan. Keheningan meliputi rumah gadang keluarga Syaikh Batuhampar. Tak terbaca apa – apa pada wajah orang tua yang bijak itu. Datar. Hening. Matanya menatap lembut bunda – anak di hadapannya. Raut mukanya tetap datar, tak menunjukkan kekecewaan, kedukaan, ataupun kemarahan. Setelah diam yang cukup lama, orang tua itu memecah keheningan dengan suaranya yang berat dan pelan. Allah mahakuasa. Apa pun yang di kehendakinya pasti terjadi. Segala yang tidak dimaunya takkan pernah terwujud. Dia memperjalankan semua hambanya. Dia pula yang mengatur lintasan nasib semua manusia.
Suaranya pelan, seperti berbisik, tetapi jelas terdengar oleh Saleha dan Hatta. Mereka tetap tertunduk diam. Entah siapa yang mengabarinya, seakan – akan Ayah Gaeknya itu sudah mengetahui niatnya untuk melanjutkan pendidikan di jurusan dunia, bukan jurusan agama. Pasti ia merasa masygul mendapati anak kemenakannya itu bersikukuh melanjutkan pendidikan di Batavia. Tetapi sebagai seorang ahli tarekat yang berpandangan luas, ia berserah diri kepada takdir dan kehendak Allah. Jalan hidupmu sudah ditentukan Allah, katanya, tetapi keyakinanku cukup kuat bahwa kau tidak akan menyimpang dari jalan agama Islam, dan jalan Allah. Mungkin pula pengetahuanmu kelak tentang agama tidak begitu luas seperti yang telah dimiliki seorang alim ulama, tetapi perasaan Islam telah tertanam dalam jiwamu dan itu tidak akan hilang. Ia kembali menghela nafas. Pandangan matanya menyapu wajah Hatta dan Saleha.
Nakcik Atta, aku hanya berpesan, pegang teguhlah agamamu. Jangan pernah tinggalkan shalat lima waktu. Pelajarilah isi dan makna surah Al – Fatihah dan surah Al – Iklas, juga surah – surah yang lainnya. Surah Al – Fatihah merupakan inti agama Islam. Seluruh sisi Al – Qur’an menjadi keterangannya. Surah Al – Ikhlas adalah pokok ajaran tauhid. Jangan yang tersurat saja di baca, pahamkan benar – benar apa yang tersirat di dalamnya.
Kemudian, meluncurlah kata – kata nasihat penuh kebijakan dari lisan Syaikh Arsyad. Begitu banyak petuah yang ia sampaikan untuk menjadi bekal perjalanan hidup anak kemenakannya itu. Nakcik, ucapnya lembut, setiap orang Minang yang melepas anaknya untuk merantau takkan lupa untuk mengingatkannya pada surah Yusuf. Jika Nabiyullah Yusuf ditinggalkan ibundanya sejak kecil, kau telah ditinggal ayahmu sejak bayi. Tetapi, dibandingkan Nabiyullah Yusuf, perjuangan dan kepayahanmu untuk meraih cita – cita belumlah seberapa. Nabi Yusuf merantau sejak kecil dari negeri kelahirannya, menjadikan hidup dan kesulitan sebagai gurunya, dan kemudian tumbuh menjadi pemimpin yang bijak lagi adil. Camkanlah itu Nakcik.
Pikiran Hatta menerawang mencoba mengingat – ingat kembali kisah Yusuf yang diceritakan guru ngajinya di Bukittinggi, Syaikh Muhammad Jamil Djambek. Yusuf menegaskan impian dan cita – cita yang ingin diraihnya, kemudian berjuang keras mewujudkannya. Begitu banyak derita dan kesulitan yang harus dihadapinya sehingga akhirnya ia berhasil mewujudkan impiannya.
Tak tergambar kemarahan ataupun kekecewan pada nada bicaranya. Ia sampaikan berbagai petuah itu dengan tulus dan lembut. Hatta selalu menyukai saat – saat seperti itu. Ia sangat merindukan ayahnya, dan kerinduan itu terobati saat bermuka – muka dengan Ayah Gaeknya, Syaikh Arsyad. Petuahnya kemudian beranjak pada persoalan sosial, kesadaran bermasyarakat, dan kemestian untuk menolong sesama manusia. Ia katakan bahwa dalam Islam, ibadah dan muamalah tidak dapat dipisahkan. Kedua – duanya perlu dikerjakan sungguh – sungguh. Kalau sayang kepada Allah, hendaklah sayang pula kepada manusia sesama makhluk Allah. Hatta yang pada awalnya terus menundukkan kepala, kini telah asyik mendengarkan dengan saksama petuah dan nasihat Ayah Gaeknya. Tatap matanya tajam mengikuti gerak bibir Syaikh Arsyad, menyimak setiap katanya, huruf demi huruf. Ia menjelaskan pertalian yang erat antara kelima pondasi ajaran Islam. Intinya, semua ibadah dalam Islam mesti didasari oleh syahadat – persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Tanpa kesadaran akan kedua pondasi keimanan itu, segala bentuk ibadah menjadi kosong tanpa makna.
Syaikh Arsyad tidak memisahkan sifat keyakinan pada agama yang berdasarkan kebenaran absolut dan sifat ilmiah pada ilmu yang berdasarkan kebenaran kausalita. Siapa yang menghendaki dunia, ia harus dapatkan ilmunya, siapa yang ingin akherat, ia harus dapatkan ilmunya. Siapa yang menghendaki keduanya, ia pun harus peroleh ilmunya. Begitu kata Rasul Muhammad, ujarnya. Lalu ia bilang, agama merupakan ilmu untuk akhirat dan ilmu adalah ilmu buat dunia. Alam ini adalah perbuatan Tuhan yang terindah dari segala – galanya. Ilmu duniawi yang dituntut hendaklah menjadi bantuan untuk menanamkan agama yang diturunkan oleh Allah melalui nabi – nabi sebagai pimpinan hidup di atas dunia yang fana ini.
Perkuatlah iman kepada Allah dan pelihara diri supaya tidak tergoda oleh setan. Setan diadakan oleh Tuhan untuk mencobai iman manusia dengan menyesatkannya dari jalan yang lurus. Jalan yang lurus adalah jalan Allah. Sebaliknya, jalan yang sesat, yang menyimpang dari jalan yang lurus adalah jalan yang ditunjukkan setan. Setan bukanlah insan di luar manusia, tetapi ia bersarang dalam dada manusia. Kerjanya memengaruhi manusia menyimpang dari halan yang lurus dan menempuh jalan yang sesat. Sebab itu, carilah perlindungan kepada Allah. Kalau kita senantiasa tawakal kepada Allah dan kita yakin bahwa Allah selalu di sisi kita, kita akan memperoleh kekuatan jiwa dan tak gentar menempuh kehidupan di dunia ini ke mana saha. Dengan keyakinan itu kita tidak akan pernah merasa seorang diri di mana saja kita berada. Batavia adalah kota yang besar. Kemajuan budaya dan peradaban berjalan seiring dengan kemajuan kejahatan dan kemaksiatan. Berhati – hatilah, dan peganglah teguh cita – citamu. Ingatlah Allah senantiasa.
Dengan semua bekal itu Hatta mantap melangkahkan kakinya.
Tunggulah aku Batavia

3.1.4        Sarikat Usaha
            Di jalanan yang masih lengang pagi itu, sebuah sepeda kumbang tampak berjalan pelan. Pengendaranya mengayuh pedal seakan tanpa tenaga. Taher Marah Sutan nama lengkapnya. Orang – orang sering memanggilnya Taher. Santai saja ia kayuh pedalnya, seakan – akan mengikuti gerak angin yang menghembus dedaunan. Sesekali bibirnya menunggingkan senyuman kea rah orang – orang yang berpapasan. Nyaris semua orang yang lintas di jalan itu dikenalnya. Setiap pagi dan sore, kecuali hari libur ia bersepeda melewati jalanan kota Padang. Ia telah mengenal setiap kelokan, perlintasan, dan bahkan lubang – lubagn kecil disepanjang jalan yang dilewatinya. Ia hentikan sepedanya beberapa meter lewat halte, lalu memasuki halaman sebuah bangunan yang tampak sederhana, tanpa atribut ataupun papan nama. Takkan ada yang menduga bangunan sederhana itu merupakan sebuah kantor usaha. Hanya saja, di dekat pagar halaman, sedikit menjorok, ada sebuah kotak surat dan beberapa bundle Koran tergeletak di depan pintu rumah. Selain itu, pada kusen di atas pintu depan, tertulis pada sepotong seng “ SARIKAT USAHA”
            Engku Taher memakirkan sepedanya di  halaman kantor, kemudian menguncinya dengan rantai yang terjuntai pada sebuah palang besi. Biasanya, di siang hari, beberapa sepeda lain terparkir di halaman kantor itu didepan palang besi yang disediakan untuk mengunci sepeda. Setiap pagi, kecuali hari Minggu, Engku Taher Mengayuh sepeda kumbangnya dari rumahnya menuju kantor Sarikat Usaha. Ia datang lebih dulu dibanding pembantu kantor yang datang untuk bersih – bersih dan menyediakan air minum.
            Setelah memastikan sepedanya terparkir aman, Engku Tanher membuka kotak surat, melihat – lihat surat yang masuk, kemudian memungut koran yang tergeletrak di depan pintu. Setelah itu ia membuka pintu depan, menyeduh segelas the, lalu membaca surat – surat tersebut. Ia tandai beberapa surat dan membuat catatan untuk membalas atau meneruskannya kepada pengurus lain. Usai meneliti surat – surat itu ia membaca Neraca dan Utusan Hindia, dua koran yang diterbitkan di Surabaya dan Jakarta. Raut mukanya tampak serius menyimak berita – berita yang datang dari Jawa, terutama berita tentang pergerakan dan perkembangan situasi sosial politik. Berita – berita lainnya ia hanya baca kepalanaya saja, kemudian menandai beberapa ulasan yang ditulis oleh para pemuka Sarikat Islam, seperti HOS Cokroaminoto atau Abdul Muis. Ia simpan koran itu diatas mejanya. Nanti, sepulang kerja dari kantor agen kapal di Teluk Bayur ia akan membacanya lagi lebih serius. Seperti itulah yang ia lakukan setiap hari. Pulang – balik dari kota Padang ke Pelabuhan Teluk Bayur. Usianya belum lagi tua. Seperti pohon jagung, ia tengah memasuki usia berbunga. Perawakannya tak terlalu tinggi dan tidak pula gemuk. Pembawaannya selalu tampak sehat dan segar, berkat pedal sepedayang dikayuhnya setiap pagi dan petang. Tak kenal letih, setiap pagi ia bersepeda dari rumahnya menuju kantor Sarikat Usaha, membereskan beberapa urusan kantor, memberi instruksi kepada kasir yang bekerja di sana sehari penyh, kemudian naik kereta menuju Pelabuhan Teluk Bayur.
            Sarikat Usaha memang didirikan sebagai organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi. Salah satu penggagas organisasi itu adalah Syaikh Abdullah Ahmad, salah seorang dari tiga serangkai pembaharu Islam pada awal abad kedua puluh. Dengan dukungan para sekolah agama di Padang yang mempergunakan bangku dan meja untuk anak – anak muridnya. Sekolah itu dimanai Diniyah School Adabiyah. Pada perkembangan berikutnya, Sarikat Usaha menerbitkan majalah Al-munir untuk mewartakan berbagai aktivitas sosial dan pemikiran tentang pembaruan Islam kepada masyarakat Padang. Mereka juga membuat usaha percetakan, penerbitan, dan pertokoan kue kering. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari, Engku Taher bekerja pada sebuah agen perjanan di Pelabuhan Teluk Bayur. Selebihnya, ia abdikan seluruh waktu dan hidupnya bagi kehidupan Sarikat Usaha. Itu semua ia lakukakan agar di kemudian hari “tanah air kita akan maju.” Itulah yang seirng ia katakan kepada orang – orang, termasuk kepada seorang pelajar MULO yang menyambangi kantornya di sore hari. Di antara anak – anak lain, dialah yang paling rajin mengunjungi kantor Sarikat Usaha. Setiap ada waktu luang, ia selalu menyempatkan diri pergi ke sana. Jika tak ada topik obrolan ia membaca koran atau buku – buku koleksi Engku Taher, baik yang berbahasa Melayu maupun Belanda.
            Mohammad Hatta nama anak itu. Mukanya selalu tampak serus. Bahkan saat bercanda, raut mukanya tampak penuh perhatian. Engku Taher menyukai kegigihan anak itu. Ia pertama kali mengenalnya ketika selama beberapa hari terakhir ia pulang balik dari kantor Sarikat Usaha ke sekolah MULO memperjuangkan keinginan orang – orang Padang agar MULO memberikan luang waktu bagi pendidikan agama untuk anak – anak muslim. Berkali – kali ia membujuk direktur MULO agar mau menyediakan jam belajar bagi pengajaran agama. Bahkan, ia juga mendekati para pemuka pemerintah lainnya serta para pemimpin agama Protestan dan Katolik. Perjuangannya tidak sia – sia. Kini, anak – anak muslim yang bersekolah di MULO mendapat waktu meski tak banyak untuk belajar ilmu agama. Haji Abdullah Ahmad Mendidik Mereka dengan lulus tanpa mendapat upah sepeser pun dari sekolah.
            Setiap kali beranjak dari pengajian Engku Taher, anak – anak selalu mendapatkan pengetahuan  baru. Cita –cita dan harapan untuk memperjuangkan kemajuan anak negeri tertamanam semakin kuat dan kokoh. Hatta, yang tumbuh menjadi seorang remaja yang cerdas, menjadi salah seorang pengagumnya. Ia suka gaya tutur Engku Taher dan uraiannnya mengenai suatu masalah. Kejadian – kejadian bersejarah selalu ia kupas dari berbagai sisi sehingga anak – anak memahami mengapa peristiwa itu terjadi. Pendidikannya tidak lebih dari sekolah rakya lima tahun, karena waktu ia masik kanak – kanak, HIS belum ada. Namun, tak ada yang dapat menghalanginya untuk maju. Ia pelajari sendiri berbagai pengetahuan .ia pelajari sendiri Bahasa Belanda, berguru dimana pun ia sempat. Tak pernah merasa malu atau jemu. Waktu ia menjadi sekretaris Sarikat Usaha, ia sudah pandai berbahasa Belanda. Ia rajin pula membaca, tidak saja untuk mengasah pengetahuannya berbahasa Belanda, tetapi juga terutama untuk mengetahui soal – soal masyarakat.
            Dalam sebuah obrolan, Hatta bertanya kepadanya tentang pandangan sebagian kalangan ninik mamak yang membela kerja rodi yang dipaksakan pemerintah colonial. Engku Taher menjawab tegas, “ itu bohong. Rodi adalah peninggalan cultuurstelsel, tidak ada sangkut pautnya dengan adan Minanngkabau.” Berbagia obrolan dengan kedua aktivis Sarikat Usaha itu semakin menumbuhkan minat Hatta untuk mempelajari berbagai masalah yang berhubungan dengan masayarakat jajajhan. Tak pernah alpa ia mengahadiri pelajaran Engku Taher, kecuali hari Minggu yang ia pergunakan untuk menonton atau bermain bola. Biasanya, Engku Taher sudah ada di kantor saat Hatta tiba di sana pada pukul 16.30. ia tunjukkan berita – berita penting dalam surat kabar yang perlu dibaca.
             H. Agus Salim yang menggantikan Abdul Muis sebagai redaktur kepala surat kabar Neratja menentang pendapat itu. Ia menulis dalam Neratja bahwa Volksraad itu masih dapat dipergunakan sebagai mimbar yang merdeka untuk menyatakan keluh kesah dan tuntutan rakyat kepada pemerintah jajahan. Sekalipun tidak akan berhasil, kepentingan rakyat itu harus diperjuangkan sungguh – sungguh. Karangannya itu dikunci dnegan semboyan yang menarik: “Jangan lari, jangan ngamberk, itu perbuatan kanak – kanak.” Saat itu Hatta belum lafi mengerti politik dan baru mulai memerhatikannya. Pendapat H. Agus Salim itu sangat memengaruhi pikirannya. Tetapi kelak tiba di Nederlangd untuk meneruskan pendidikan, Hatta menempuh haluan Politik nonkoperasi. Enam tahun kemudian H. Agus Salim mengubah pendapatnya. Ia keluar dari Volksraad dan menjadi penganjur politik nonkoperasi yang terkemuka di Indonesia.
            Ketika Hatta menjadi pengurus Jong Sumatrenan Bond, Engku Taher selalu mengajaknya menemui para tokoh gerakan Indonesia seperti Abdul Muis dan H. Agus Salim. Berkat Engku Taher Hatta dapat bertemu dengan banyak tokoh pergerakan. Ia sering membawa mereka sambil mengucapkan kepada orang – orang : “Anak – anak muda ini adalah harapan bangsa dan akan menjadi pemimpin rakyat di masa datang. Dari mulai sekarang kita perlihatkan kepada mereka kewajiban mereka itu. Kita bawa mereka berhubungan langsung dengan rakyat dan para pemimpin Negara.”
3.2      Hikayat Cinta & Kemerdekaan

3.2.1  Proklamasi
           Pegangsaan Timur No. 56, 09:30, 17 Agustus 1945
           Tidak terlihat keramaian di sekitar rumah bercat putih itu. Tak ada kendaraan, kecuali sebuah oto yang juga bercat putih terparkir di bagian samping rumah. Jakarta yang biasanya sangat panas, tampak sedikit berawan. Beberapa batang pohon yang tumbuh besat dihalam rumah menghalangi terik matahari. Beberapa orang tampak hilir – mudik keluar masuk rumah Soekarno, di pegangsaan Timur No. 56. Seorang pemuda berseragan Peta terlihat waspada. Pandangannya tajam mengawasi sekeliling rumah, dan mengamati setiap gerakan merak. Beberapa pemuda tampak berdiri sigap di luar rumah. Tak ada tenda, tak ada spanduk, tak ada karangan bunga, tidak ada pula rangkaian pita merah putih. Orang – orang yang datang saling mengucap salam dan berpelukan. Mereka saling menyapa dengan suara yang pelan seakan berbisik. Ibadah puasa yang dijalankan kaum muslimin saat itu menebalkan kesunyian yang tersa sejang pagi. 
           Tak lama kemudian seorang laki – laki bersergam putih – putih selangkah keluar dari mobil. Ia adalah Mohammad Hatta, salah satu orang dari dua penandatangan naskah proklamasi Indonesia. Orang – orang telah menuggunya dengan gelisah. Karena itulah seabgian mereka berinisiatif menjemput kerumahnya. Ratusan pemuda dan Barisan Pelopor tampak bersiaga di halaman depan, sementara beberapa anggota PETA bersiap - siap di bagian belakang dekat tanggul kereta api. Hatta segera menemui Soekarno yang sedang berbicara serius dengan Sayuti Melik. Mereka bersalaman dan berpelukan. Beberapa malan terakhir mereka tak padat tidur dengan nyaman. Siang harinya mereka mesti brpuasa. Tak banyak kata – kata yang terucap dari mulut keduanya, kecauali teegur sapa.
            Tepat pada pukul sepuluh pagi Latief Hendraningrat dan seorang pemuda berseragam PETA mengatakan pada Soekarno dan Hatta bahwa persiapan telah selesai. Mereka berdua berjalan menuju halaman depan. Beberapa orang telah berdiri rapi di halaman depan dekat sebuah itang bamboo untuk menyambut kedatangan Soekarno dan Hatta. Pandangannya berkeliling menatap satu demi satu wajah – wajah yang tegak di hadapannnya. Lalu ia berpaling ke sisi kirinya memandang kepada hatta yang berdiri dua langkah di belakangnya. Hatta tersenyum dan menganggukkan kepala. Semua orang diam dan terpaku. Tak ada sepatah suara yang terdengar. Tak ada yel yel kemerdeakaan yang biasanya berdiri tegak mendengarkan setiap kalimat yang terucap dari bibir Soekarno. Hingga akhirnya tiba di hari ini, hari proklamasi.
           Suara Soekarno terdengar tegas dan mantap. Pandangan Hatta tertumbuk pada sekelompok pemuda berseragam peta yang tampak waspada berjaga di dekat pagar halaman. Anak – anak muda penuh semangat seperti itulah yang kemarin subuh menjemputnya dengan paksa kemudian membawanya ke Rengasdengklok Karawang. Pagi itu, saat ia bangun dan untuk makan sahur, beberapa pemuda dipimpin oleh Soekarni sudah menunggu di luar rumah dan di ruang tengah.
           Hatta tak habis pikir, bagaimana bisa di tengah gejolak perjuangan kemerdekaan seperti saat itu, para pemuda sempat – sempatnya berpikir untuk membunu keraabat bangsa setanah air. Para pemuda itu selalu memiliki keinginan yang keras dan tak bisa ditahan. Mereka dongkol, karena para pemimpin yang mereka sebut angkatan 28, menjadi kolaborator Jepang. Anjing – anjing jepang, begitu menyukai Soekarno dan Hatta Karena dianggap telah menjerumuskan banyak pemuda menjadi romusha. Mereka juga membeci beberapa golongan termsuk orang Ambon. Hatta menjelaskan kepada mereka berbagai kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi jika mereka memaksakan diri menyatakan kemerkedaan malam itu. Ia juga jelaskan tentang kemungkinan pasukan Belanda yang akan membonceng Sekutu. Namun, para pemuda itu tak bisa menerima penjelasannya. Mereka membubarkan diri dengan perasaan kecewa. Merka lebih dekat kepada beberapa pemimpin yang mereka anggap revolusioner, contohnya Sjahrir.
           Keesokan harinya, setelah menemui Real – Admiral Meiada, Hatta mengusulkan kepada Soekarno agar rapt PPKI diadakan tanggal 16 Agustus 1945 karena anggotanya sudah lengkap hadir di Jakarta. Soekarno sejutu. Kemudian anggota PPKI yang menginap di  hotel des Indes agar hadir besok hari pukul 10 tepat di kantor dewan Sanyo Kaigi di Pejambon.
           Seharusnya, pagi itu PPKI dapat bersidang dilanjutkan dengan pernyataan kemerdekaan. Namun, tampaknya rapat itu tidak bisa dilangsungkan. Melihat tampang dan nada bicara para pemuda yang telah berkumpul di rumahnya saat sahur, Hatta menyadair, sesuatu yang besar segera terjadi. Nanti, menjelang pukul 12 tengah hari, 15.000 rakyat akan menyerbu ke kota dan bersama – sama mahasiswa dan Peta akan melucuti Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta kami bawa ke Rengasdengklok untuk menetuskan pimpinan Pemerintah Republik Indonesai dari sana.
           Sebelum rapat ditutup Soekarno mengingatkan bahwa hari itu juga, 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi proklamasi akan dibacakan di muka rakyat di halam rumahnya id Pegangsaan Timur 56. Keputusan itu berbeda dengan keinginan para pemuda yang mengusulkan agar proklamasi dilakukan di Lanpangan Ikada, karena rakyat telah diberi tahu mengenai rencana tersebut. Namun, para pemimpin menganggap tindakan seperti itu hanya akan mengundang kemarahan Jepang  dan Sekutu. Posisis tentara Jepang masih kuat, lengkap dengan segala persenjataannya. Tindakan prpvokatif dikhawatirkan akan memicu tindakan keras dari militer Jepang. Para pemuda kembali meraa kecewa. Berkali – kali usulan mereka ditolak. Akhirnya, semua orang membubarkan diri, jam telah menunjukkan pukal tiga dini hari. Beberapa orang, termasuk Hatta sempat makan sahur di rumah Meida. Sebelum semua orang pulang, Hatta meminta kepada para pemuda, terutama dari golongan pers, diantaranya B.M. Diah, untuk memperbanyak naskah proklamasi itu dan menyebarkannya ke seluruh Indonesia dan ke pelosok dunia lainnya yang dapat dijangkau.
           Bendera Merah – putih jahitan tangan Fatmawati berkibar perkasa. Angin mengembusnya ke kanan dan ke kiri. Tiang bamboo dengan tambangnya yang using bergoyang mengikuti tiup angin. Dihembus angin, ujung tiang bendera itu kadang bergerak melambai ke kiri dan ke kanan. Hatta teringat lambaian tangan sahabat kakeknya, Pak Gaek Rais, yang di tangkap polisi Belanda lalu  dibuang ke Padang, dan ia tidak diboleehkan meninggalkan daerah pesisir. Ia dituduh terlibat dalam kerusuhan Kamang, yang membunuh seratus penduduk Kamang dan 12 orang marsose Belanda. Kelak, Hatta tahu bahwa Rais tak pernah terlibat dengan kerusuhan itu dan ia tak ada sangkut pautnya sama sekali. Kesalahannya hanya satu. Ia terlalu lancing mengkritik kebejatan Westenenk, asisten residen Agam di Bikitting yang kejam, suka melecehkan masyarakat. Rais melayangkan surat kritik yang dimuat di surat kabar Utusan Melayu. Westenenk tak berani membawanya ke muka hakim. Karena itulah ia ditangkap dan dibuang ke Padang, lalu ke Bengkulu .
           Pandangan Hatta kembali terpaku pada kibaran Merah – Putih ketika Soekarno mendekati dang menyalaminya. Proklamasi telah dibacakan. Lagu Indonesia Raya telah dinyanyikan. Merah Putih telah dikibarkan. Indonesia telah menjadi Negara yang merdeka. Tak ada pesta pora, tak ada pawak arak – arakan untuk merayakan kemerdekaan. Usai upacara proklamasi, orang – orang berteriak gembira. Para pemuda, para pemimpin gerakan, hingga kusir bendi yang mengikuto upacara itu bertieriak penuh semangat MERDEKA !

3.2.2 Dari Teluk Bayur Ke Rotterdam
           Lambaian tangan Rais tak prnah mau minggat dai benak dan ingatan Hatta. Bagaikan potongan seluloid yang terus diputar, pada saat – saat tertentu Hatta melihat kembali lambaian tangan itu, lambaian iut mengabarkan derita dan tangan yang berbelenggu. Bahkan, setelah ia berjarak ribuan kilometer dari Bukittinggi, lambaian tangan dari jendela kereta itu tak juga beranjak dari kepalanya. Begitu pula ketika ia berlayar ke Rotterdam untuk melanjutkan pendidikannya di tanah yang melahirkan marsose berbayonet yang menggeledah orang – orang Minang.
           Di negeri itulah kini ia berdiri, hidup, dan bernapas. Sore itu, udara musim gugur terasa dingin menusuk. Biasanya, angin yang berhembus dari Laut Udara akam membawa udara yang lembut pada musim dingin, dan udara yang hangat pada musim panas. Hatta berjalan – jalam menelusuri sungai kecil cecabang Sungai Maas, sungai panjang yang mengalir dari Schelde Belgia lalu berpadu dengan Sungai Meuse. Lalu lintas kapal tampak ramai. Beberapa perahu kecil berlayat dan bertemu di pojok pasar apung. Biasanya saat hari pasar, sungai dipenuhi perahu layar, perahu bot, dan rakit sehingga kau tak dapat melihat permukaan air. Perahu – perahu itu membawa berbagai macam barang dagangan. Semua perahu berkumpul pada sebuah titik pertemuan dua sungai. Tempat oti menjadi pasar apung pada hari – hari tertentu.
           Hatta terus berjalan menyusuri sungai yang mengalir bersebelahan dengan jaln berbatu, lalu berbelok di sebuah jembatan, dan mengambil jalan yang cukup lebar dengan kiri kanannya dipenuhi rumah terbuat dari batu bata. Semua genteng rumah itu seragam berwarna merah dengan talang air yang berwarna hijau. Rumah – rumah itu tampak seragam, kecuali beberapa bangunan yang dibuat lebih tinggi dan lebih besar. Setelah melewati beberapa blok, dan ia tibadi sebuah took buku. Took inilah tempat belanja pertama yang didatanginya setelah beberapa hari mendarat di Rotterdam.
           Bagaimanapun, bagi Hatta, Bukittinggi tetap lebih indah dari tanah manapun. Ia mneikmati perjalanan membosankan itu dnegan menghabiskan beberapa buku. Tambora harus singgah di beberapa pelabuhan. Tak banyak yang bisa diingat oleh Hatta, kecuali kerika Tambora berlabuh di Port Said, Mesir. Negeri piramida in seakan tak asing lagi bagi Hatta. Ia telah sering mendengarnya. Negeri iniklah yang disebutkan ayah gaeknya, Syaikh As\rsyad, sebagai tempat belajarnya kelal setelah belajar di Makkah. Negeri ini pula yang diceritakan oleh Inyik Djambek, negeri ini tempat kelahiran Musa. Inilah negeri Firaun. Yusuf pun mencapai pncak karirnya di sini, sebagai bendahara. Hatta menyukai kisah Yusuf. Romansa dan kembara.
           Hatta memutuskan untuk berjalan – jalan di Marseille. Ia pun tak perlu merogoh kocek sendiri untuk makan dan ongkos jalan – jalan. Keluarga Portier yang tidak bisa berbahasa Perancis menanggung semua kebutuhan Hatta di Marseille. Ia hanya cukup membalasnya dengan menjadi pemandu mereka. Sore harinya, Tambora kembali berlayar menuju Selat Gibraltar. Orang Arab menyebutnya Jabal Thariq Bukit Thariq.
           Udara dingin lembut Nederland mendekapa Hatta. Ia benar – beanr menikmati hidup di negeri kincir anging itu. Situasi social politik di sana jauh berbeda dnegan situasi di Indonesia negeri jajahan Belanda. Kemrdekaan dan kebebasan berpendapat yang berlaku di negeri itu menarik minatnya. Meskipun merujuk pada hukum uang sama, keadaan di tanah jajahan sangat jauh lebih buruk. Rakyat pribumi merasakan hidup yang penuh tekanan, kekangan, dan ancaman. Orang – orang yak bebas berbicara dan brkumpul. Nyaris pada setiap akhir pekan, Hatta meluangkan waktu dan menyusuri pelosok Rotterdam dan kota – kota lainnya, termasuk Den Haag dan Amsterdam.
           Tak puas berkeliling Belanda, pada masa – masa liburan tentamen, Hatta berjalan – jalan ke negeri negeri Eropa lainnya. Masa – masa senggang seperti itu benar benar ia manfaatkan untuk mengenal lebih jauh demokrasi yang dipraktikkan Negara – negra Barat itu. Kemajuan, kemakmuran, dan kemerdekaan yang dirasakan bangsa Barat telah menerbitkan rasa penasaran yang besar dalam jiwa Hatta. Bagi Hatta, kesempatan apapun selalu dijadikan sarana pembelajaran dan penyadaran, ia selalu berusaha menghimpun berbagai kekuatan individu mauoun kelompok untuk bersama – sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Setiap kali mendengar ada seorang tokoh intelektual atau tokoh pergerakan di Negara – Negara Eropa, Hatta selalu berusaha untuk menemuinya. Berbagai Negara Eropa ia kunjungi agar bisa bertemu dan berbincang – bincng dengan para tokoh tersebut. Ia benar – benar menikmati masa – masa liburan sebagai petuakangan yang mengasyikkan.
3.2.3 Indonesia Vrij
           Persidangan itu dihadiri oleh banyak orang dari berbagi kalangan. Kasus penangkapan para pelajar Indonesia di Belanda telah menarik perhatian semua kalangan. Tampak beberapa pejabat pemerintah Belanda, anggota parlemen dari Partai Buruh Sosialis Belanda, para wartawan dari berbagai media, dan para pelajar Indonesia di Belanda. Mereka antusias mengikuti jalannya persidangan. Di barisan depan, berjejer empat orang terdakwa, Mohammad Hatta, Nazir Pamoentjak, Ali sastroamidjojo, dan Abdoel Madjid Djojoadiningrat, didampingi pengacara mereka, Dr. Duys, Mr. Mobach, dan seorang advikat muda, teman kuliah Nazir Pamontjak, Nona Weber. 
           Keempat pelajar itu ditangkap dengan tiga tuduham : menjadi anggota perhimpunan terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang kerajaan Belanda. Pertemuan dan konvensi dengan Semaun di Den Haag dijadikan dasar oleh penguasa colonial untuk mendakwa Hatta dan kawan – kawannya. Mereka dituduh telah bersekongkol dengan golongan revolusioner. Bahkan, Htta menganggap proses pengadilan itu sebagai kesempatan untuk menyerang pengusa colonial. Ia bangga, gerakan PI yang dihidupkan oleh hanya segelintir pemudaIndonesai berhasil menggeterkan pemerintah. Saat itu, hanya ada sekitar 35 pelajar yang menjadi angora PI, dan sebagian di antaranya merupakan angora yang tidak aktif.

           Tak sudi ditudih sebagai pengecut yang melarikan diri keesokan harinya, 24 Juni 1927, Hatta dan Soetikno kembali ke Belanda lewat Brussels. Sepanjang perjalanan ke Belanda, tidak sedikitpun tampak kesedihan dan rasa takut pada wajah keduanya. Mereka justru gembira baha akhirnya PI behasil menggetarkan Kubu Penjajah. Saat tiba di Brussel, itu bohong belaka. Mereka hanya mengambil surat – surat dan arsip PI serta beberapa seri majalah Indonesia Merdeka.
           Beberapa wakil pemerintah Belanda yang diutus untuk mengawais dan melawan Hatta dalam kongres itu menyangkal penjelasan Hatta dan mengatakan bahwa di Hindia Belanda berlaku “ressenjustice”, atau dua macam pengadilan. Namun, Hatta telah menyiapkan serangan balik yang didukung Henriette Roland Host. Ia menunjukkan fakta – fakta mengenai proses pengadilan yang dijalankan pengusa colonial terhadap para buruh perkebunan.
           Setelah menghadiri Kongres tersebut, ia kembali pulang ke Belanda. Pada hari jum’at 23 September 1927, setelah beberapa hari berada di Den Haag, Hatta ditangkap di pondokannya. Dua orang polisi Belanda datang kerumahnya membawa surat perintah untuk menangkapnya. Hatta kemudian dibawa ke penjara Casuariestraat. Ditangkap juga bersamanya Nazir Pamontjak, Ali Sastroadmijojo, dan Abdoel Madjid Djojoadiningrat. Penangkapan ini merupakan awal puncak perlawanan PI, karena keempat tokoh itu diadili mulai 8 Maret 1928. Pada Maret 1928, keempat tertuduh mengemukakan pembelaannya. Pembelaan Hatta yang diserahkan tertulis dan dikemukakan garis besarnya kemudian dikenal dengan judul Indonesische Vrij. Menunggu siding terakhir, keempat tahanan itu mendapatkan tahanan luar.
           Setelah jaksa menyampaikan tuntutannya, para pembela Hatta dan kawan – kawan diberi kesempatan untuk mnyampaikan tangkisan. Mr. Duys, pembela utama para terdakwa menangkis tuduhan jaksa penuntut dengan argumen – argumen yang tegas dan cerdas. Ia mengkritik cara jaksa mempergunakan pasal – pasal Undang – Undang Hukum Pidana. Kemudian ia membanding – bandingkan tulisan majalah Indonesia Merdeka dengan tulisan lain yang dimuat di surat kabar Belanda yang jauh lebih ekstrem, tapi semua itu tidak pernah dianggap sebagai tulisan yang menghasut. Dalam hubungan ini ia merujuk kitab undang – undang , pada preseden pengadilan masa – masa sebelumnya, dan pendapat para ahli hukum di Negeri Belanda. Ia bahkan mengecam kebijakan Belanda sejak jaman Vereenidge Oost-Indische Compaigne (VOC) sampai masa politik etis. Berbagai pemberontakan tak lepas dari perhatiannya, demikian pula keuntungan berlebihan yang didapatkan sebagai hasil eksploitasi terhadap Indonesia. Seharusnya, kata Duys, pemerintah dan rakyat Belanda berterimakasih kepada keempat mahasiswa itu. Ia menyimpulkan pembelaannya sebagai berikut. Pertama, secara yuridis keempat mahasiswa itu tidak akan dituntut, karena tidak mempunyai dasar hukum. Kedua, secara moril juga tidak, karena mereka merupak cerminan moril sesungguhnya. Ketiga, kegiatan mereka tidak sepersepuluh bagian pun dari kegiatan orang – orang lain dalam hal yang sama. Keempat, tahanan sementara tidak adil dan tidak diperlukan. Kelima, kebijakan colonial dan pers Barat tentang Indonesia mengihina para tertuduh dan bangsanya, juga menghasut orang – orang untuk mempergunakan kekerasan.
           Setelah ketiga pembela menyampaikan pembelaannya, tibalah giliran Hatta. Pada awalnya Hatta akan membacakan pidato pembelaannya yang cukup panjang yang disusunnya selama berada di tahanan. Namn Mahkamah memintanya agar mebgemukakakan pembelaan yang ringkas. Suatu tanda baik, pikir Hatta. Hatta menarik napas panjang sebelum menutup lembar – lembar naskah pembelaannya. Sebelum duduk di bangku terdakwa, ia mengedarkan pandanganna ke para hakim, jaksa, dan orang orang yang menyaksikan persidangan itu. Wajah Westenenk yang ada dibarisan depan mengusik perhatiannya. Ia memandang tajam wajah itu, yang pada suatu ketika pernah menimpakan kesengsaraan pada orang awak di Ranah Minang. Karena pikiran kotor di balik wajah itulah Kawan Pak Gaeknya, Rais, dibuang Belanda ke Pesisir. Peristiwa itulah di antaranya yang menumbuhkan semangat dan cita – citanya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tekadnya semakin kuat seiring pargaulannay dengan para tokoh pergerakan nasional di Padang dang Batavia hingga akhirnya tiba di Rotterdam Belanda untuk mendalami Ilmu dagang.
           Setibanya di Belanda, Indische Vereeniging telah menantikan kiprahnya. Pada tahun 1922, setahun setelah Hatta mendaratkan arah politiknya dengan mengubah namanya menjadi Bendahara organisasi itu. Mereka juga memutuskan untuk segera menerbitkan majalah sendiri yang dinamai Hindi Poetra. Dibawah pimpinan Nazie Pamontjak sebagai ketua, pengurus Indonesische Vereeniging tahun 1924 semakin mempertegas warna kebangsaannya. Pengurus bersepakatmengumkan keterangan dasar organisasi pada 1 Maret 1924 yang terdiri atas 3 poin :
1.      Hanya Indonesia yang bersatu, dengan menyingkirkan perbedaan – perbedaan golongan, dapat mematahkan kekuasaan penjajahan.
2.      Tujuan bersama memerdekakan Indonesia menghendaki adanya suatu aksi massa nasional yang insar dan berdasar kepada tenaga sendiri.
3.      Melihat dua macam penjajahan politik dan ekonomi, aksi itu adalah suatu persediaan bagi kemerdekaan politik dan satu sikap menentang capital asing yang menyedot kekayaan Indonesia.
            Mereka juga menetapkan politik nonkoperasi sebagai sendi perjuangan rakyat Indonesia. Kerja sama dengan penjajah untuk mencapai cita – cita kemerdekaan Indonesia hanya berarti menipu diri sendiri. Kerjasama hanya mungkin dilakukan antara 2 golongan yang sama haknya dan kewajibannya dan sama kepentingannya.
            Hatta menyadari, setiap langkah yang diambil untuk meraih kemerdekaan harus dilakukan dengan cermat dan penuh perhitungan. Ia tak pernah gegabah mengambil suatu tindakan. Setiap langkah yang hendak diambilnya selalu dipikirkan matang – matang. Ia pun tak berniat pergi jauh ke Belanda hanya untuk memenuhi kepentingan pribadinya, menyelesaikan sekolah dagang, lalu pulang membawa ijazah. Ia ingin kepergiannya yang sangat jauh ini bermanfaat pula bagi masyarakatnya, bagi nusa bangsa, dan tanah airnya. Karena itulah, ia menolak ajakn seorang kawan barunya di Belanda untuk bergabung dengan kelompok belajar de corps. Hatta pun tak melihat adanya pengembangan kesadaran social. Kegiatan mereka berkutat pada berbagai diskusi ilmiah untuk mendukung perkuliahan. Ia memilih untuk bergabung dengan Indische Vereniging, organisasi pelajar Indonesia di Belanda yang bergerak dalam bidang social politik.

3.2.4     Di Haribaan Sang Kekasih
Hatta menarik napas panjang, ia menghirup penuh udara pantai yang panas dan kering. Udara inilah yang dirindukannya selama bertahun-tahun. Kehangatan udara Rotterdam, keindahan hamparan bunga tulip warna-warni, kemegahan kincir-kincir angin raksasa yang berdiri nyaris di sepanjang kanal, tak bias membuatnya melupakan kehangatan dan kelembutan tanah airnya. Keindahan kota-kota Eropa dengan semesta panorama alamnya, juga hangat udara kebebasan demokrasi di sana tak dapat memalingkan hatinya dari kekasih yang selalu dirindukannya. Tanah air tempat tumpah darahku, begitu alunan WR Supratman, dalam rapat pemuda 1928, tak pernah berajak dari benak dan jiwanya. Meski aroma colonial yang ia hirup sejak ia dilahirkan di dunia telah dirasakan lagi ketika ia menginjakkan kakinya di Singapura, Hatta tak hendak menyurutkan langkahnya. Ia telah bertekad untuk menjejaki medan perjuangan yang lebih berat, lebih panas, dan lebih berdarah.
Setelah menempuh perjalanan panjang dan membosankan, akhirnya ia tiba di tanah air, di pelabuhan Tanjung Priok. Ia meninggalkan Rotterdam pada tanggal 20 Juli 1932, melewati Paris dan Genoa. Tidak seperti saat berangkat ke Rotterdam, kali ini Hatta harus berpindah-pindah kapal hingga akhirnya tiba di Jakarta.
Wajah-wajah yang dicintai dan merindukannya muncul silih berganti. Bundanya, Saleha, adik-adiknya, juga kakaknya Rafiah, pak Gaek dan Mak Gaek, juga Ayah Gaek Arsyad, terus menemani perjalanan panjangnya. Aur Tajungkang terbayang di benaknya, apakah para petani masih menanam kopi? Apakah mereka kini telah berganti profesi? Adakah surai Inyik Djambek masih berdiri, ataukah perubahan zaman telah menggerus dan meruntuhkannya. Apakah Engku Marah Sutan masih mengayuh sepedanya menuju kantor Serikat Usaha? Ataukah Belanda telah melibas perkumpulan para saudagar itu?
Demi harapan itulah ia berlayar dari Teluk Bayur, meninggalkan tanah air tercinta menuju negeri para penjajah, Nederland, tanah yang berada di bawah muka samudra. Demi menjawab pertanyaan itulah ia dipenjara di Negara orang.
Perpecahan kelompok nasionalis pasca penangkapan Soekarno mendorong Hatta untuk segera pulang ke tanah air. Selain itu, ia juga telah berhasil menuntaskan pendidikan doktoralnya di Belanda. Sejak lama ia sudah merasa khawatir melihat perkembangan PNI Soekarno. Bahkan pada tahun 1929, ia telah menulis sebuah artikel yang cukup panjang berjudul “Buah Pikiran Politik”, yang diantaranya mengkritik para pengurus PNI yang masih saja berada dalam tahap demonstratif, belum pada peningkatan organisasi yang kuat. Semestinya PNI menggabungkan keanggotaan yang bersifat massal dengan keanggotaan yang sadar secara politik tetapi dikontrol secara terpusat. Bahkan pada 1927 ia telah menekankan perlunya pendidikan politik yang terencana ditubuh PNI. Akibatnya, ketika sosok utama partai itu ditangkap dan dipenjara, seluruh PNI kehilangan semangat bagaikana anak ayam yang kehilangan induk. Mereka tunduk kepada tekanan kolonial untuk membubarkan diri.
Kepulangannya ke tanah air juga didorong oleh terjadinya perpecahan di tubuh Perhimpunan Indonesia. Partai Buruh Sosialis Belanda kemudian berubah menjadi Partai Komunis Belanda mulai menancapkan pengaruhnya pada beberapa anggota dan pengurus PI. Semakin lama warna komunis di tubuh PI semakin dominan sehingga pada akhirnya PI dikuasai golongan komunis yang berkiblat ke Moskow. Hatta berduka menyaksikan perkembangan seperti itu, tak ada lagi yang bisa diperjuangkan di Tanah Rendah itu.
Karena itulah ia bersepakat dengan Sjahrir, untuk bergantian memimpin Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) di tanah air. Sjahrir pulang lebih dahulu ke tanah air untuk memimpin PNI hingga Hatta menyelesaikan kuliah di Handels Hogeschool Rotterdam. Akhirnya, ia berhasil menyelesaikan studinya yang terkatung-katung selama bertahun-tahun.
Hatta yang tanpa merasa bosan membangkitkan harapan dan semangat kaum nasionalis. Surat demi surat ia layangkan kepada pimpinan Golongan Merdeka untuk memberikan dukungan dan arah perjuangan yang lebih jelas. Ia menyarankan kepada para aktivis Golongan Merdeka untuk menerbitkan sebuah harian yang dapat memproyeksikan konsep kerakyatan dibandingkan dengan konsep sekelompok elit masyarakat nama yang diusulkan untuk harian itu adalah Daulat Ra’jat.
Dalam edisi pertamanya yang terbit pada 20 September 1931, Hatta menjelaskan bahwa tujuan korna itu adalah mempertahankan dasar-dasar demokrasi dalam berbagai hal termasuk politik, ekonomi dan sosial. Harian itu juga mengungkapkan pandangan yang jelas bahwa Golongan Merdeka berusaha untuk membentuk sebuah partai untuk menandingi Partindo. Dimulailah gerakan untuk menandingi kekuatan aristokrat. Gerakannya itu memunculkan kritik dari berbagai sisi sehingga Hatta menegaskan pendirinya itu dengan menulis sebuah surat terbuka yang diterbitkan oleh Daulat    Ra’jat :
Sikap dan seluruh langkahku tumbuh dari keyakinan yang dalam. Benar bahwa aku berada sangat jauh dari tanah airku, dan tidak mengetahui dengan pasti apa yang tengah terjadi di sana. Namun, di tengah berbagai peristiwa yang terjadi saat ini, ada kenyataan yang tampak jelas terlihat dan dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat, betapapun ia berada jauh dari Indonesia. Dua kenyataan yang saya pahami dengan sangat baik, dan yang telah menjadi suatu hal yang sangat penting bagiku, pertama, pembubaran PNI dan cara bagaimana Pni dibubarkan.

Penolakan Hatta terhadap Partindo menimbulkan ragam reaksi, termasuk dari kalangan yang menentangnya. Mereka mempertanyakan kapabilitas Hatta untuk menjadi pemimpin. Dr. Rivai di antaranya menyatakan bahwa ia meragukan kemampuan Hatta untuk menjadi pemimpin di Jawa. Menurutnya, nasionalisme Jawa belum lagi mencapai tahapan untuk bisa menghidupkan nasionalisme Indonesia. Ia menganjurkan kepada Hatta untuk hidup di Sumatera dan dipilih oleh rakyat Sumatra menjadi Pimpinan Volksraad jika ia ingin terjun di dunia politik.
Hatta marah. Ia bilang dalam artikelnya yang lain bahwa banyak orang yang mengkritiknya dan menyuruhnya menghentikan aktivitas politik hanya karena ia berasal dari Sumatera, sementara pusat sistem politik berada di Jawa. Namun, keberangannya itu tak membuatnya kehilangan kendali. Kepercayaan dan keyakinan dirinya tak pernah surut dan melemah. Ia yakin pada kemampuannya untuk memimpin dan ia telah membuktikannya ketika memimpin PI.
Keputusan Hatta untuk mendukung pembentukan partai tandingan Partindo itu membuka peluang bagi Partai Komunis Belanda untuk meminggirkan Hatta dari komunitas pergerakan di Belanda. Melalui beberapa orang pelajar Indonesia di Belanda yang menjadi anggota partai komunis sekaligus anggota PI, mereka berusaha meminggirkan Hatta dari aktivitas pergerakan. Rustama Effendi, seorang komunis asal Minangkabau menjadi ketua PI menggulingkan ketua sebelumnya yang meneruskan kepemimpinan Hatta. Koran milik Comintern, Inprecor, pada terbitan 8 Agustus 1931 mengumumkan bahwa Jawaharlal Nehru, Edo Fimmen, Maxton, dan Hatta telah dikeluarkan dari Liga Anti Impersialisme dan Kolonialisme.
Berbagai peristiwa itu memaksa Hatta untuk berpikir lebih keras. Kini, ia menjadi interniran PI. Ia harus berjuang meyakinkan masyarakat bahwa sebagai seorang Sumatera, ia bisa memimpin dan mendidik rakyat menjadi kader-kader nasionalis yang tangguh. Sebagai jawaban atas tuduhan bahwa ia telah memecah belahkaum nasionalis dengan membidani lahirnya partai baru, dan dianggap telah merusak prinsip disiplin dan prinsip kebersamaan di PI, Hatta menjawab :

Aku sendiri menyukai disiplin, tetapi apa yang disebut disiplin oleh PI berarti sensor. Siapapun yang ingin mengeluarkan pendapat harus mendapat izin dari Pengurus. Tetapi pengurus Pi sendiri bisa berbicara dengan bebas ke dunia luar tanpa mempertimbangkan kesepakatan anggota.

Hatta melihat koperasi sebagai suatu sarana pendidikan yang bermata dua : kesadaran kemampuan diri serta kesadaran perlunya usaha bersama sebagai cermin dari apa yang ia sebutkan self-help (menolong diri sendiri). Rakyat telah lama kena pukau ketidakmampuan dirinya. Ia harus dibalikkan. Ia harus percaya tentang    kemampuannya :

Rakyat diajar berjuang sendiri untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Dimana dapat kaum pergerakan harus membantu dan memberi pimpinan. Dengan jalan ini fighting spirit (semangat perjuangan) rakyat akan kita bangun. Ia akan bekerja dengan gembira untuk menuju cita-cita. Satu bangsa dapat mencapai kebesaran dan nasib yang baik, kalau rakyat pada lapisan yang lebar di bawahnya mempunyai kemauan dan kegembiraan.

Hatta menyebut para pengurus dan anggota Pni sebagai kaum Daulat Rakyat. Ia ingin setiap pergerakan dan perjuangan menuju kemerdekaan didasarkan atas kedaulatan rakyat, bukan kekuasaan  sekelompok elit. Ia mengabaikan cemoohan sebagai orang yang menyebut organisasinya sebagai sekolah-sekolahan karena mempergunakan kata “pendidikan”. Ada juga yang bilang bahwa ia mempergunakan kata pendidikan hanya untuk menyamarkan partainya sehingga pemerintah Belanda tidak menyangkanya sebagai organisasi politik. Dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan”, yang dimuat di Daulat Ra’jat, Hatta menegaskan dasar organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).

“Pendidikan! Bukan atau belum lagi Partai. Bukan karena khilaf atau curiga diambil nama “Pendidikan”, melainkan dengan sengaja. Orang yang kurang paham menertawakan perkumpulan kita sebagai sekolah-sekolahan. Kita tak akan berkecil hati atau marah. Memang kita mau “bersekolah” dulu, bersekolah untuk membentuk budi dan pekerti, bersekolah untuk memperkuat iman. Ternyata, dalam riwayat yang baru lalu, budi pekerti dan iman ini yang paling perlu bagi pergerakan kita. Tidak perlu tepuk dan sorak, kalau kita tidak sanggup berjuang, tidak tahu menahan sakit. Indonesia Merdeka tidak akan tercapai dengan agitasi saja. Perlu kita tahu bekerja dengan teratur; dari agitasi ke organisasi.

Sifat perkumpulan kita pendidikan, karena memang maksud kita mendidik diri kita. Politik di negeri jajahan terutama berdiri pendidikan. Politik dalam pengertiannya yang biasa tidak dapat dijalankan, kalau rakyat tidak punya keinsafan dan pengertian. Sebab itu, didikan harus jalan dahulu. Dan didikan tidak akan sempurna kalau ia tidak memakai asas yang terang.

Agitasi baik untuk membuka jalan! Didikan membimbing rakyat menuju organisasi! Sebab itu, usaha kita sekarang; pendidikan!”

Hatta menyadari, Belanda tidak akan pernah memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk merasakan kemerdekaan. Kebijakan mereka justru semakin keras dan sewenang-wenang. Ia telah merasakan aroma kolonial sejak ia memasuki Singapura dan kemudian ke Jakarta. Di mana-mana polisi rahasia selalu menguntitnya. Barang-barang yang dibawanya dari Belanda diperiksa dengan ketat. Untunglah beberapa edisi majalah Indonesia Merdeka, dan tulisan-tulisannya yang dianggap berbahaya telah diselundupkan lebih dahulu. Sejak kedatangannya di Indonesia, ia mendengar banyak orang yang ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi Belanda. Bahkan kerabat dan kawan-kawannya di masa lalu tak mau berdekatan dengannya karena takut terhadap pengawasan agen rahasia Belanda.
Di tengah situasi seperti itu dibutuhkan kader-kader pejuang yang kuat dan tahan uji, kader yang siap dibui dan dibuang. PNI harus bisa melahirkan kader seperti itu. Karena itulah, dalam rapat-rapat umum dan rapat khusus kader, Hatta tidak mengajarkan konsep agitasi, tetapi mengajar mereka bagaimana menganalisis kenyataan yang terjadi. Setiap calon anggota harus lulus dalam ujian yang dilakukan pengurus. Ujian calon anggota itu meliputi sejarah umum Indonesia, terutama sejarah pergerakan sejak timbulnya Budi Utomo, dan juga pengetahuan tentang gerakan koperasi dan non-koperasi; imperialisme dan pertumbuhannya; kapitalisme dalam perkembangannya; kolonialisme; dan tentang kedaulatan rakyat. Para pengurus juga harus menguasai materi-materi yang terdapat dalam Daulat Ra’jat, Indonesia Vrij-Mohammad Hatta, Tujuan dan politik pergerakan nasional di Indonesia. Persaingan antara PNI dan Partindo, juga persaingan antara Soekarno dan Hatta tidak tidak menghalangi rasa hormat dan pengakuan Hatta atas kepintasan dan daya tarik Soekarno. Ia menjadikan pidato pembelaan Soekarno sebagai bacaan wajib para pengurus PNI.

3.2.5     Perjumpaan Dua Sahabat
“meskipun anak Gadang Hatta berbeda partai dengan Soekarno, tetapi ada baiknya jika Anak Gadang menemuinya di Bandung. Dia sudah kira-kira setengah tahun keluar dari penjara,” Haji Usman berkata pelan.
Meskipun tidak terlihat dalam gerakan politik dan kemerdekaan, sedikit banyak Haji Usman mengetahui peran kedua orang itu dalam aktivitas gerakan, dan persaingan di antara mereka. Ia mengenal watak Hatta, yang setia pada janji dan kata-kata. Hatta yang dikenalnya takkan pernah surut berjuang hingga Indonesia mencapai kemerdekaan. Janjinya untuk tidak kawin hingga Indonesia Merdeka telah diketahui banyak orang, nyaris oleh semua lapisan masyarakat. Ia pun mengetahui daya tarik dan pesona Soekarno di mata rakyat banyak. Orang-orang berduyung datang ketika mendengar kabar kedatangan Soekarno. Mereka diam mendengarkan kata-katanya yang mengalir lancar, tajam, dan sarat perempuan. Ia cakap meracik kata-kata. Konsep-konsep perjuangan, kemerdekaan, dan kepemimpinan ia jelaskan dengan idiom-idiom pewayangan dan legenda rakyat sehingga kalangan awam dapat mencerna kata-katanya. Ia bagaikan seorang bintang di bawah sorot lampu panggung. Semakin banyak orang yang datang memuja dan menepuki pidatonya, semakin berapi-api gaya bicaranya.
Bagaikan Yin dan Yang. Bagaikan kedalam samudra dan amuk gelombang. Kedua orang itu, Soekarno dan Hatta, saling mengisi dan saling melengkapi. Di balik wajahnya yang datar tanpa riak, Hatta menyimpan kecerdasan, kebijakan, dan pengetahuan. Nyaris semua aktivitas gerakan nasionalis menjadikan pemikiran dan konsep perjuangannya sebagai landasan dan panduan.
Haji Usman, seorang pedagang yang tidak terlibat aktif dalam politik pergerakan mengangankan kedua orang hebat itu dapat berjalan bersama untuk memimpin gerakan perjuangan kemerdekaan.
Hatta terdiam beberapa lama, pikirannya dikecamuk ragam perasaan. Meskipun tak pernah berjumpa dan bertatap muka, ia mengetahui pesona dan daya pikat Soekarno. Selama ini ia hanya mengenal namanya lewat tulisan di media dan kabar yang disampaikan kawan-kawannya di Indonesia. Ribuan kilometer jarak yang memisahkan tak memungkinkan keduanya saling menyapa dan bertukar pikiran secara langsung. Sejak memutuskan untuk pulang ke tanah air, Hatta telah berencana untuk menjumpai Soekarno. Ia pernah mendengar kabar bahwa Soekarno ingin menyatukan dua partai nonkoperasi, Partindo dan PNI Baru, menjadi satu partai nasionalis yang besar.
Kedua partai itu memang berasal dari Bundo Kanduang yang sama. Adalah Hatta yang pertama kali menggagas berdirinya Partai Nasional Indonesia. Sejak tahun 1926, ketika masih tinggal di Negeri Kincir Angin, Hatta secara aktif terus berhubungan dengan para aktivitas pergerakan di tanah air. Salah satu kelompok yang paling giat mengadopsi dan menerjemahkan pemikiran Hatta dalam aksi nyata adalah Studi Klab Bandung. Kepada kelompok inilah Hatta berharap bisa mendirikan sebuah partai yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Akhirnya Studi Klab Bandung berhasil menjadi motor penggerak bagi lahirnya sebuah partai nasionalis nonkoperasi yang dinamai Perserikatan Nasional Indonesia, berbeda dengan nama yang diusulkan Hatta, Sarikat Rakyat Nasional Indonesia. Hatta mengusulkan nama itu untuk menunjukkan munculnya Sarekat Rakyat baru yang didasarkan atas nasionalisme, bukan komunisme, dan diharapkan para anggota Sarekat Rakyat yang tersisihkan dari PKI dapat bergabung di dalamnya. Hatta ingin agar partai yang hendak didirikan menjadi partai nasionalis yang didasarkan atas kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan sekelompok elit. Beberapa bulan kemudian pengurus Perserikatan Nasional Indonesia mengubah kata “Perserikatan” menjadi “Partai” untuk menegaskan bahwa mereka merupakan kelompok pergerakan politik. Ketika Soekarno ditangkap dan dipenjara di Sukamiskin, para pengurus PNI membubarkan partai dan mengubah namanya menjadi Partai Indonesia (Partindo).
Dari sajak yang sangat jauh, Hatta membidani lahirnya sebuah partai untuk menerjemahkan pemikiran dan konsep perjuangannya. Golongan Merdeka kemudian berubah menjadi Pendidikan Nasional Indonesia, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan PNI baru. Memang Partindo dan PNI baru lahir dari rahim pergerakan yang sama, tetapi Hatta menyadari adanya jurang lebar yang memisahkan keduanya. Bagaikan bayi yang ditumbuhkan di lingkungan dan oleh pengasuh yang berbeda, keduanya tumbuh menjadi anak-anak kecil yang berbeda sifat dan karakter.
PNI baru dibawah asuhan Hatta bersikukuh pada nilai-nilai demokrasi dalam berbagai bidang untuk membangun Indonesia yang merdeka. Ia menekankan kedaulatan rakyat sebagai dasar perjuangan, bukan kedaulatan dan kekuasaan sekelompok elit. Sementara, PNI lama yang berusah menjadi Partindo terlalu banyak bergantung pada sosok Soekarno dengan segala pesonanya. Ketika Soekarno ditangkap dan dipenjara, pemimpin Pni memutuskan untuk mengikuti keinginan penjajah dengan membubarkan diri dan mengubah namanya menjadi Partindo. Mereka bagaikan anak-anak ayam yang kehilangan induk, tak bisa bergerak maupun melindungi diri sendiri. Feodalisme kaum aristokrat Jawa, yang selama ini ditentang oleh Hatta, masih kental mewarnai segala aktivitas dan agenda politik Partindo. Bagi Hatta, juga para pimpinan PNI baru, perbedaan itu terlalu mendasar dan tak mungkin dipertemukan. Kedua anak itu tak mungkin hidup di bawah satu atap yang sama.
Setibanya di Indonesia, Hatta kembali mendengar keinginan Soekarno untuk menyatukan kedua partai nasionalis itu. Hatta pribadi menolak kemungkinan itu, tetapi sebagai pejuang demokrasi, ia menyerahkan keputusan partai kepada para pengurusnya. Kesepakatan mereka akan menjadi keputusan. Ternyata, para pengurus PNI baru yang dipimpin oleh Sjahrir memiliki pikiran yang sama dengan Hatta.
Haji Usman kembali berkata, “Kalau Anak Gadang tidak keberatan, lusa Sabtu sore kita berangkat ke Bandung.” Hatta mengenal Haji Usman sebagai seorang saudagar muda asal Padang, yang masih punya hubungan keluarga dengan Mak Etek Ayub Rais. Toko Padang miliknya, dan Toko Djohan Djohor punya Mak Etek Ayub dikenal luas oleh kalangan pribumi karena keberaniannya menurunkan harga sebagai toko-toko Cina dan Pasar Senen, Pasar Baru, dan Kramat terpaksa menurunkan harga. Keduanya saudagar itupun semboyan “Untung sedikit, penjualan banyak, rakyat tertolong.”
“Baiklah,” ujar Hatta”, aku memang ingin berjumpa dia, tetapi sampai sekarang belum juga ada waktu. Sejak kembali dari Negeri Belanda banyak saja pekerjaan.
Pada Sabtu sore yang ditentukan, pukul dua mereka berangkat ke Bandung, melewati Karawang dan Cikampek. Kira-kira pukul 5 lewat sedikit mereka sampai di Bandung. Keduanya menginap di sebuah hotel di jalan Pos Timur. Setelah meninggalkan kopor di situ, mereka pergi ke Astana Anyar, ke rumah Soekarno. Karena ia tidak ada di rumah, mereka meninggalkan pesan kepada seorang anak muda yang kebetulan ada di sana dengan memberikan alamat hotel mereka. Kira-kira pukul 9 malam Soekarno datang disertai salah seorang pengurus PNI baru cabang Bandung, Maskun.
Mereka ngobrol sambil minum kopi dan the. Kedua pemimpin yang tak pernah berjumpa sebelumnya itu duduk bermuka-muka didampingi Haji Usman dan Maskun. Mereka bagaikan sepasang sahabat yang lama tak berjumpa. Soekarno bercerita panjang tentang pengalamannya di Sukamiskin, dan Hatta dengan gaya bicara yang ringkas dan sederhana juga menceritakan pengalamannya selama mendekam di penjara Casuariestraat. Rupanya, karena di kamar hotel itu ada Haji usman, Soekarno tidak mau berbicara tentang kemungkinan penyatuan antara Partindo dan PNI baru. Usai minum te dan menceritakan pengalamannya masing-masing, Soekarno berpamitan dan berpesan agar Hatta segera kembali ke Bandung untuk membicarakan persatuan antara Partindo dan PNI Baru.
Bagi Hatta, pertemuan saat itu seakan-akan bukan perjumpaan mereka yang pertama. Ia merasa telah lama mengenal Soekarno. Pada 1926, ketika kelompok Studi Klab Bandung memprakarsai terbentuknya partai nasioanlis di Indonesia, Hatta sangat gigih mendukung mereka. Ia berharap partai itu bisa menghimpun para mantan anggota PI yang telah pulang ke tanah air untuk bersatu di bawah kelompok nasionalis.
Salah seorang anggota Studi Klub Bandung yang paling berpengaruh justru bukan mantan anggota PI, tetapi Soekarno, lulusan ITB yang sejak SMA telah bergabung dengan Sarikat Islam dan dididi oleh Tjokroaminoto. Ia telah menjadi anggota Jong Java sejak menjadi pelajar SMA. Umurnya hanya satu tahun lebih tua dari Hatta. Dan, ia sangat menyukai tulisan-tulisan Hatta. Namun, Soekarno tidak menyetujui bahwa para lulusan luar negeri itu dapat menjadi pemimpin gerakannasionalis di tanah iar. Ia melihat tujuan-tujuan Hatta terlalu kebarat-baratan, dan tidak dibentuk oleh budayanya sendiri. Ketika itulah Soekarno mulai menunjukkan tangannya kepada kepemimpinan Hatta, persaingan yang kelak akan sangat memengaruhi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak saat itu, mereka berjumpa di koran-koran dan majalah yang terbit di Indonesia, keduanya saling berdebat dan  berargumen tentang konsep perjuangan dan demokrasi hingga akhirnya keduanya berjumpa di medan perjuangan yang sama.
Mak Etek Ayub datang memberikan penawar bagi kegusaran Hatta. Saudagar itu mengajaknya ikut serta dalam satu kunjungan bisnis ke Jepang. Hatta memercayakan pengelolaan PNI kepada para pengurusnya. Ia yakin, pendidikan kader yang telah diberikannya sejak ia masih tinggal di Belanda telah membentuk pengurus dan kader PNI yang setia dan mampu menghadapi tantangan apapun. Ia percaya, mereka dapat meladeni serangan-serangan yang muncul, baik dari pemerintah kolonial mampu dari kaum nasionalis sendiri. Dengan menumpang kapal Djohor Maru, keduanya berlayar ke Jepang pada februari 1933. Di Jepang, Hatta yang ikut dengan alasan meredakan ketegangan kaget oleh sambutan media massa negeri itu. Baru saja kapal bersandar di Pelabuhan Kobe, para wartawan telah menunggunya di tangga kapal dan menyapanya. Mereka memanggilnya dengan julukan “Gandhi of Java”.
Ia terkesan dan merasa tersanjung mendengar sebutan itu. Entah siapa yang memulainya. Seakan-akan sebutan itu telah lama melekat pada dirinya. Ia tak pernah mengaku sebagai pengagum atau pencinta Gandhi. Bahkan, ia tak pernah berjumpa dan Sang Mahatma itu. Sahabat dekatnya yang berasal dari India adalah Nehru. Bisa jadi, mereka menyebutnya Gandhi karena sejak awal terjun ke dunia pergerakan, ia memilih jalan nonkoperasi. Dan, sebagaimana ditegaskan dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan Den Haag, Hatta tak pernah menyukai dan tak pernah memilih jalan kekerasan, seperti semboyan Gandhi yang terkenal “Ahimsa” –tanpa kekerasan. Jalan itu ia tempuh dengan kukuh. Jika Gandhi dikenal dengan gerakan sosialnya yang mengerahkan ratusan ribu orang melakukan aksi damai, Hatta dikenal dengan gerakan pendidikannya. Pendidikan Nasional Indonesia yang dipimpinnya tak pernah mengambil jalan kekerasan atau pengarahan massa secara besar-besaran. Partai itu mementingkan pendidikan dan menciptakan kader-kader yang pintar dan menyadari kedudukan mereka sebagai rakyat dan pejuang kemerdekaan. Para kader dan simpatisan PNI baru dituntut untuk memahami realitas sosial yang mereka hadapi dan kemudian menganalisisnya dengan analisis yang rasional.

3.2.6     Orang-Orang yang Terbuang
Tiap-tiap pemimpin yang menceburkan dirinya ke dalam golongan rakyat telah mengetahui lebih dahulu bahwa hidupnya tidak akan senang, bahwa ia tidak selama-selamanya akan tidur di atas kasur kapas yang enak. Tiap-tiap pemimpin pergerakan kemerdekaan harus tawakal dalam hatinya, bahwa hidupnya boleh jadi akan melalui bui dan pembuangan.

Setibanya di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Hatta langsung mengurusi perizinan enam belas peti bukunya itu meskipun ia baru bisa menerimanya tiga hari kemudian. Saat di Rotterdam, ia membutuhkan waktu tiga hari untuk membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam peti. Sebagian bukunya yang tidak dapat dibawa ia berikan kepada beberapa kawannya di Belanda. Dan butuh waktu yang sama untuk membereskan buku-buku itu sebelum bertolak ke Digul. Tanah Merah. Kini ia kebingungan bagaimana membereskan buku-bukunya agar ia tetap bias membacanya dan tidak dirusak oleh rayap atau udara yang lembap. Akhirnya ia mengambil sebuah kursi yang tertumpuk di atas kursi lainnya, mengelapnya, lalu duduk dengan pandangan tak teralihkan dari buku-bukunya.
Pada 25 Februari 1934, Hatta, Bondan, dan Sjahrir ditangkap di Jakarta. Tuduhan atas Hatta : selama tinggal di Belanda hingga tahun 1931, ia memimpin Perhimpunan Indonesia, yang bertujuan untuk melakukan tindakan revolusioner melawan pemerintah Belanda. Anggota PI dianggap telah berusaha mendapat dukungan dari kelompok sayap kiri seperti Onafhankelijke Socialistische Partij, partai komunis di Belanda, dan Liga Anti Imperialisme dan Kolonialisme di Berlin. Pertama kali mereka mendekam di penjara Glodok. Kemudian kira-kira pada awal Desember, Hatta dan Bondan dipindahkan ke penjara Struyswijk, penjara khusus untuk orang-orang yang akan diharapkan ke pengadilan. Keduanya ditempatkan di ruangan yang bertuliskan “Europeanen en Communisten”.
Setelah berpindah dari satu penjara ke penjara lain, pada bulan September 1934, penguasa colonial memutuskan untuk membuang Hatta ke Digul. Setelah mendengar kabar itu langsung dari pemerintah Belanda, Hatta segera bersiap – siap. Persiapan pertama yang dilakukannya adalah mendata buk-buku apa saja yang akan dibawa untuk menyertainya di Digul. Hatta meminta izin kepada dr. Baudisch, kepala bui Glodok untuk menyusun dan mengepak buku-bukunya ke dalam Peta. “aku tidak keberatan”, ujar dr. baudisch, “tetapi semuanya ini harus diputuskan oleh instansi lain, terutama pemerintahan dalam negeri. Apabila salah seorang dari keluarga Tuan Hatta datang menemui Tuan, Tuan minta supaya dihubungi instansi yang bersangkutan.”
Beberapa hari kemudian datang Sutan Lembaq Tuah bersama Mak Etek Ayub mengunjunginya di penjara Glodok. Mereka mengetahui kabar tentang pembuangan Hatta ke Boven Digul dari berita yang disiarkan pemerintah. Hatta mengatakan kepada mereka bahwa ia sendiri sudah menduganya dan ia menerimanya dengan hati yang lapang. Ia telah siap menghadapi situasi seperti itu ketika memutuskan untuk terjun ke dunia pergerakan. Ia bilang kepada mereka bahwa sesuatu yang telah lama diketahui tidak akan lagi mengejutkan. Tetapi, Hatta meminta mereka menemui instansi yang bersangkutan agar memberikan izin selama tiga hari untuk mengepak buku-bukunya ke dalam peti besi. Jika polisi Belanda keberatan, ia bersedia tetap menginap di penjara. Cukup baginya jika diberi izin untuk pergi dari bui pada pukul tujuh pagi dan sebelum pukul lima sore ia sudah berada di bui kembali.
Pemerintah mengabulkan permintaannya. Ia diberi izin untuk membereskan dan mengepak buku-bukunya selama tiga hari, mulai pukul 7 pagi sampai pukul 4 sore. Waktu yang singkat itu dimanfaatkan juga untuk bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan dan karib kerabatnya yang ada di Jakarta. Hatta sempat berfoto dengan ibundanya, Saleha, dan adik-adiknya. Ia berhasil mengepak buku-bukunya dalam waktu tiga hari. Tidak ada barang-barang lain yang dipersiapkan, kecuali sebuah kopor pakaian. Bahkan ketika ia berlayar dari Teluk Bayur ke Rotterdam, dan sebelas tahun kemudian dari Rotterdam ke Tajung Priok, selain berpeti-peti buku, ia tak pernah membawa barang lain selain satu kopor pakaian. Baginya, buku adalah segalanya.
Digul adalah tempat pembuangan yang paling mengerikan. Kematian selalu mengintip para penghuni Tanah Merah itu. Digul tak lagi pantas disebut tempat hunian. Digul adalah tempat yang gersang dan sarang malaria. Banyak penghuninya yang terserang gangguan jiwa dan depresi, panas terik matahari, dikelilingi oleh rawa dan hutan belantara. Publik Belanda sendiri menyebut tempat interniran di tanah jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti menandatangani kontrak kematian. Bahkan Koran luar negeri menyebutkan bahwa Digul adalah kolam raksasa yang penuh derita. Malaria dan deman tinggi sering kali membinasakan para penghuninya. “Persediaan pangan amat terbatas karena lokasinya sukar dicapai”.
Tanah merah selalu menjadi nama yang paling menakutkan bagi musuh-musuh penjajah. Dataran terpencil di pulau udik Papua itu dibangun penguasa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal De Graeff pada awal 1927 sebagai tempat pembuatan para tahanan politik, yang dikurung trimba raya dan paya-paya kaya nyamuk. Dunia terdekat yang bisa dijangkau dari Digul hanyalah Tual kota pelabuhan kecil di Maluku yang membutuhkan 50 jam pelayaran dengan kapal motor. Kalaupun berhasil, besar kemungkinan mereka akan ditangkap polisi Australia untuk dikembalikan ke Digul. Hatta sendiri, yang berpendirian “di atas segala lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira”, menyebut Digul sebagai “neraka dunia”.
Rumah-rumah lain di Tanah Merah itu berkelompok bagaikan sarang lebah, dipisahkan belukar tak terurus atau lorong-lorong kea rah kali Digul. Sedikit ke luar kampong, angin seperti mendesis, matahari berkilau pada sungai besar yang airnya kini kecoklatan. Udara terasa lembut dan segar. Agak di kejauhan, asap membubung tinggi dari atap rimba gelap yang dibakar. Nyaris semua rumah yang ada di sana tak layak huni. Bahkan ada sebuah pondok kecil beratap seng tanpa dinding yang dihuni oleh 14 orang tahanan.
Kesulitan Hatta terpecahkan ketika ia bertemu seorang buangan yang sudah lama tinggal di Digul. Ia sama-sama berasal dari Minangkabau. Karena itulah keduanya cepat akrab. Dulunya ia seorang guru yang kemudian mengikuti organisasi pergerakan nasionalis. Pemberontakan di Minangkabau mengantarkannya ke Tanah Merah. Mereka sering bertemu dan berbicang-bincang tentang Danau Maninjau atau Ngarai Sianok. Belantara Tanah Merah sering pula mengingatkan mereka pada belantara di kawasan Singgalang dan Merapi. Namun yang paling penting, Hatta sering menemuinya untuk belajar bertukang. Guru minang itu dikenal sebagai tukang yang ahli. Setiap kali ada seorang buangan yang ingin membangun atau memperbaiki rumah, dialah yang menjadi pimpinan proyeknya. Ia menjadi arsitek, tukang, sekaligus pengawas pembangunan. Hatta sering meluangkan waktu untuk mengikutinya ketika ia membangun atau memperbaiki rumah seorang buangan. Dari guru itu pulalah Hatta belajar membuat rak dengan bahan-bahan sederhana. Setelah membereskan hartanya yang berpeti-peti, Hatta mulai mendiskusikan soal ketahanan rumahnya dengan si Guru Minang.

3.2.7     Hadiah Perkawinan : Alam Pikiran Yunani
Kedua gadis itu diam tak bersuara. Masing-masing tenggelam dalam pikiran dan lamunannya masing-masing. Mereka duduk bersisian di atas pembaringan. Sesekali gadis yang lebih tua menatap wajahnya yang terpantul di cermin. Tampak seraut wajah yang cantik, segar, dan menawan. Hidungnya mancung, di atas bibir yang kecil, lembut, dan basah, bibir itu sedang tersenyum. Kedua bola matanya bulat bening. Kecerdasan dan kelembutan memancar dari keduanya. Pada wajahnya : keheningan bersekutu dengan kebeliaan. Lama keduanya tak bersuara, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sore hari itu, mereka kedatangan tamu penting, Soekarno, presiden dan salah seorang Proklamator kemerdekaan Indonesia. Ia datang atas nama sahabatnya, Mohammad Hatta. Soekarno menemui Annie Rachim dan suaminya Abdul Rachim. Ia melamar putrid mereka, Rahmi untuk dinikahi oleh sahabatnya, Mohammad Hatta. Setelah mendengar penuturan Soekarno, Annie termenung mengingat usia antara Hatta dan putrinya, “Mas Karno, mengenai lamaran itu, aku harus bertanya lebih dahulu kepada putriku. Ia telah berusia Sembilan belas tahun, dan sudah cukup dewasa untuk memutuskan masa depannya sendiri.”
Soekarno berpaling kepada Rahmi dan berkata “aku mengenal Hatta sebagai sahabat dan seorang pemimpin yang baik. Ia benar-benar orang yang sangat baik. Engkau tidak akan menyesalinya. Hatta benar-benar seorang pria sejati yang teguh memegang prinsip.” Rahmi diam saja. Sesekali ia melirik kepada ibunya, namun tetap diam tanpa suara. Setelah beberapa lama, Soekarno berkata kepada Annie, “Aku akan menunggu kabar jawaban dari putrimu”.
Sepulangnya Soekarno, Annie kembali bertanya kepada Rahmi mengenai lamaran Soekarno. Rahmi tak segera menjawab. Sesaat rumah besar itu diliputi keheningan. Tiba-tiba, adik Rahmi, Titi, berkata ketus, “Jangan terima Yu! Dia jauh lebih tua.” Kelak, Titi mengubah pendapatnya tentang Hatta saat mereka bersama-sama mendaki sebuah gunung, ternyata ia tidak bisa mengimbangi kegesitan Hatta. “Ia berjalan begitu cepat, seperti orang Barat.”
“aku akan memikirkannya dulu Bu,” ujar Rahmi sambil beranjak menuju kamarnya disusul kemudian oleh adiknya Titi.
Beberapa lamanya kedua garid itu tak berakata apa-apa. Rahmi berbaring di atas ranjang. Pikirannya menerawang entah kemana. Setelah beberapa saat ia bangkit dan duduk di pembaringan di sisi adiknya. Lalu ia berpaling kepada adiknya, dan berkata sambil tersenyum, “aku akan menikahinya.”
“Jangan Yuke! Pikirkan kembali matang-matang. Ia jauh lebih tua darimu. Usianya empat puluh tiga, sedang kau baru Sembilan belas. Ia lebih pantas jadi ayah kita,” ujar adiknya, Titi, dengan wajah cemberut.
Rahmi kembali berujar, “Aku tahu. Tetapi aku mengaguminya. Aku benar-benar mengaguminya. Aku yakin, tak ada orang yang dapat mencintai dan melindungiku lebih baik dibanding dia. Sepertinya, aku akan bisa mencintainya karena ia senantiasa memegang teguh prinsipnya. Ia sangat mencintai Indonesia sehingga berjanji tak hendak beristri sebelum Indonesia merdeka. Itulah janjinya, dan ia memenuhinya. Aku yakin, sepanjang hidupmu, kau tak akan pernah menjumpai seorang pencinta seperti dia.”
“Tetapi, dengan menikahinya, kau akan kehilangan masa mudamu, perminan, juga keceriaan. Kau lihat sendiri wajahnya. Amat serius. Kacamata tak pernah lepas dari wajahnya. Jarang sekali ia tersenyum. Dan yang paling penting, kau akan sangat sibuk. Orang-orang akan memperhatikan setiap gerak langkahmu, karena ia telah menjadi orang kedua republik ini.”
Rahmi berkata mantap, “aku akan menikahinya. Hidup di sisinya. Merasakan cintanya yang sunyi dan dalam.”
Kedua gadis itu kembali diam. Sekali lagi Rahmi memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Cantik, dan sunyi Persis seperti komentar Soekarno ketika Hatta menyampaikan niatnya untuk melamar gadis itu, “Pilihanmu sungguh tepat. Dia gadis tercantik di Bandung.” Begitu ujar sang Don Juan itu mengomentari pilihan sahabatnya.
Melalui penerungan yang cukup panjang, Rahmi menerima pinangan Soekarno untuk Mohammad Hatta. Ia segera menemui orangtuanya dan menyampaikan keputusannya. Pada saat yang sama, Indonesia berada di puncak ketegangan. Pasukan Belanda, yang kebanyakan merupakan anggota KNIL dan Ambon, membanjiri Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Dengan memakai mobil jip atau truk, mereka berkeliling Jakarta, sambil kadang-kadang melepas tembakan. Setiap kali berpapasan dengan mobil pembesar Indonesia yang memasang bendera Merah Putih, mereka tembaki bagian depannya. Kadang-kadang meronda hingga keluar kota. Belanda, yang dating membonceng pasukan Sekutu, tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia.
Mereka menganggap kemerdekaan Indonesia semata-mata sebagai rancangan dan hasil upaya Jepang. Mereka bilang, pemerintahan Indonesia di bawah Soekarno-Hatta hanyalah boneka Jepang yang bersifat totaliter dan bergantung pada organisasi militer Jepang. Indonesia menolak segala upaya Belanda untuk kembali menjajah, termasuk saat mereka mengajukan tawaran untuk menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Negara Belanda.
Pemerintah Belanda, melalui van Mook dan Van der Plas, ingin menjalankan pemerintahan Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Koningin Wilhelmina dalam pidatonya ketika pemerintah Belanda menyingkir ke London. H. Agus Salim dengan tegas menolak keinginan mereka, “Indonesia sekarang sudah merdeka. Ia tidak mau lagi dijadikan jajahan, menjadi Nederlands Indie. Dari Australia dahulu Tuan-tuan mencaci kami sebagai boneka Jepang. Kira-kira satu tahun lalu Jepang sudah mengucapkan kemerdekaan Indonesia di masa depan. Pemerintah Belanda, setelah menjajah Indonesia 300 tahun lamanya, belum pernah sampai sebegitu jauh. Pada tahun 12 Agustus kemarin Jepang menyerahkan kemerdekaan kepada kami. Dan sekarang kami sudah merdeka. Dengarlah Tuan-Tuan, Indonesia takkan mau lagi diturunkan derajatnya, bahkan dengan status dominion.”
Keadaan di berbagai kota besar Indonesia semakin tegang dan tidak menentu. Para pemuda dan tentara rakyat yang baru dibentuk melawan kedatangan pasukan Belanda (NICA) yang membonceng Sekutu. Terjadi peperangan kecil di beberapa kota antara prajurit NICA dan tentara rakyat. Bahkan di Surabaya, konflik yang lebih sengit berlangsung antara rakyat dan pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Mallaby. Pasukan Inggris, mengikuti perintah komandan mereka di Singapura, meminta agar rakyat dan para pemuda menyerahkan senjata api mereka. Namun, rakyat Surabaya menolak dan melawan pasukan Inggris. Beberapa gedung pemerintahan dan tempat strategis lainnya mereka duduki. Mereka juga mengepung lapangan terbang. Kesepakatan damai berhasil diraih antara pihak Inggris dan Indonesia : pasukan Inggris akan menyingkir dari pusat kota menuju daerah pantai dan pelabuhan. Sementara, pusat kota akan diambil alih oleh tentara Indonesia yang baru dibentuk.
Dalam perjalanan pulang menuju lapangan terbang, pada suatu tikungan, Hatta elihat di pinggir jalan seorang anak kecil kira-kira berumur 12 tahun, bersandar pada sebuah tembok sedar tertidur dengan sepotong bedil tersandung di bahunya. Melihat itu, jenderal Hawthorn, panglima pasukan Inggris, berkata, “That is revolution.” Namun, kesepakatan damai itu ternoda. Jenderal Mallaby tertembak oleh pasukannya sendiri ketika hendak memasuki sebuah gedung militer. Pasukan Inggris yang bersembunyi di dalamnya melepaskan tembakan karena menyangkanya tentara rakyat.
Insiden itu mengubah sikap pasukan Inggris. Jenderal Christison langsung melancarkan peringatan bahwa ia akan mengerahkan seluruh kekuatan pasukan laut, darat, dan udara untuk menyerang pasukan Republik kecuali jika mereka menyerahkan para pemberontak yang telah mengakibatkan terbunuhnya Mallaby. Ketika pada 10 November, pasukan Inggris mengeluarkan maklumat agar semua orang di Surabaya menyerahka senjata, para pemuda dan tentara rakyat melawan peringatan itu. Terjadilah pertempuran besar yang menewaskan enam belas ribu tentara dan rakyat Indonesia.
Dalam pertemuan itu, pasukan Inggris mengerahkan Divisi India-5 pimpinan Jenderal Mansergh berkekuatan 24 ribu prajurit dengan 24 buah tank Sherman dan 24 buah pesat tempur, yang telah teruji memenangkan Perang Dunai II. Namun, selama tiga hari peperangan, kekuatan yang sangat besar itu tak mampu melumpuhkan Surabaya. Republic yang aru lahir itu benar-benar menghadapi cobaan yang sangat berat. Kedatangan sekutu yang membonceng NICA telah membangkitkan semangat juang rakyat dan tentara Indonesia. Mereka tak mau lagi berurusan dengan Belanda. Kedatangan Sekutu yang pada awalnya hanya untuk melucuti Jepang dan menjaga status quo, mendapat perlawanan keras dari rakyat. Mereka membenci dan menyerang Sekutu karena membawa Belanda. Berbagai kelompok revolusioner turut memperuncing suasana. Cabinet baru di bawah pimpinan Soekarno – Hatta mendapat serangan dari berbagai pihak. Beberapa kelompok pemuda ingin menggulingkan Soekarno dari kursi presiden dan menggantikannya dengan sosok yang lebih revolusioner. Benar-benar situasi yang tidak nyaman untuk melangsungkan pernikahan.
Namun, janji telah dipenuhi, sumpah telah ditunaikan. Apa pun pendapat Belanda, Indonesia sudah merdeka. Hatta telah memutuskan untuk menikmah. Rahmi Rachim, putrid Annie Rachim, menerima lamarannya. Di sebuah villa sederhana sederhana di Mega Mendung, Bogor, pada tanggal 18 November 1945, seminggu setelah pertempuran heroic di Surabaya, Hatta mengakhiri masa lajangnya. Di hadapan beberapa kerabat dan kawan-kawan dekatnya, Hatta menikahi Rahmi Rachim. Salah satu harta berharga yang Hatta berikan sebagai hadiah pernikahannya untuk istrinya adalah berupa buku yang menggambarkan ideal Hatta tentang Negara dan demokrasi. Rahmi menerima hadiah perkawinan dengan penuh penghormatan. Sejak awal ia telah menyadari, ia akan menjadi istri keempat Hatta setelah Indonesia, rakyat Indonesia, dan buku-bukunya.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa, Dedi, Riyadi. 2010. Hatta Kemerdekaan. Depok: Edelweiss.
_________________ . Blog Begomore’s Ngincenin Gatra