Undang-Undang Dasar


MAKALAH
PENGANTAR ILMU POLITIK

 “Undang-Undang Dasar”






Disusun Oleh : 
.^_^.

Dosen Pembimbing : Drs. Nahar Effendi, M.Si



 
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI (STIA)
 LANCANG KUNING
DUMAI
2010
 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena dengan izin-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas untuk menunjang kegiatan belajar semester 1 (Satu) Program Studi Administrasi Negara pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Lancang Kuning Kota Dumai, dengan judul Undang-Undang Dasar. Makalah ini ditentukan oleh Dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik.
Dan tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Nahar Effendi, S.Mi sebagai Dosen mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik yang telah member tugas ini sehingga kami bias mengerti apa yang dimaksud dengan UUD 1945.
Demikian makalah ini kami buat dengan harapan dapat berguna bagi kami, pembaca pada umumnya dan Mahasiswa sendiri pada khususnya. Kami sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan penyusunan makalah ini dan mudah-mudahan makalah ini dapat berguna bagi kita semua.


                                                                    Dumai, 09 Januari 2011


                                                                                  Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar                                                                                                       i
Daftar Isi                                                                                                                ii
BAB I      PENDAHULUAN .....................................................................          1
A.    Latar Belakang .....................................................................          1
B.     Tujuan Penulisan ...................................................................          1
BAB II    PEMBAHASAN ........................................................................          2
A.    Sifat dan Fungsi Undang-Undang Dasar.............................          2
B.     Ciri-Ciri Undang-Undang Dasar..........................................          3
C.     Undang-Undang Dasar dan Konvensi.................................          4
D.    Pergantian Undang-Undang Dasar......................................          4
E.     Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)..............          5
F.      Supermasi Undang-Undang Dasar.......................................          6
G.    Undang-Undang Dasar Tidak Tertulis dan
Undang-Undang Dasar Tertulis...........................................          7
H.    Undang-Undangan Dasar yang Fleksibel dan
Undang-Undang Dasar yang Kaku......................................          10
I.       Undang-Undang Dasar Indonesia.......................................          12
BAB III   PENUTUP ..................................................................................          19
                 3.1 Kesimpulan ...........................................................................          19
                 3.2 Saran .....................................................................................          19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................          20

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa menerjemahkan istilah dalam bahasa Inggris constitution menjadi Undang-Undang Dasar (UUD). Sebenarnya ada kesukaran atau kekurangan dengan pemakaian istilah UUD, yakni kita langsung membayangkan suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis, maupun yang tidak. Yang mengatur secara mengikat cara-cara pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Terjemahan kata constitution dengan kata UUD memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata Grondwet (Grond : dasar; wet = undang-undang), dan Grundgesetz (Grund = dasar; gesetz = undang-undang), yang dua-duanya menunjuk pada naskah tertulis. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini hamper semua Negara (kecuali Inggris) memiliki naskah tertulis sebagai UUD–nya.

B.     Tujuan Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini, tentu penulis mempunyai tujuan dalam penulisannya. Adapun tujuan penulis makalah ini agar para pembaca mengetahui dan memahami tentang :
J.       Sifat dan Fungsi Undang-Undang Dasar
K.    Ciri-Ciri Undang-Undang Dasar
L.     Undang-Undang Dasar dan Konvensi
M.   Pergantian Undang-Undang Dasar
N.    Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)
O.    permasi Undang-Undang Dasar
P.      Undang-Undang Dasar Tidak Tertulis dan Undang-Undang Dasar Tertulis
Q.    Undang-Undangan Dasar yang Fleksibel dan Undang-Undang Dasar yang Kaku
R.     Undang-Undang Dasar Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sifat dan Fungsi Undang-Undang Dasar
Secara pengertian umumnya dapat dikatakan bahwa UUD merupakan suatu perangkat peraturan yang menentukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat kenegaraan. UUD juga menentukan batas-batas berbagai pusat kekuasaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan di antara mereka.
Menurut Sarjana hokum E.C.S. Wade dalam buku Constitutional Law, UUD adalah : “Naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu Negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut (A document which sets out the framework and principal functions of the organs of government of state and declares the principles governing the operation of those organs).” Jadi, pada pokoknya dasar dari setiap system pemerintahan diatur dalam suatu UUD.
Pandangan ini merupakan pandangan yang luas dan yang paling tua dalam perkembangan pemikiran politik. Dapat dicatat bahwa pada abad ke-5 SM., seorang filsuf Yunani, Aristoteles yang di dunia Barat dipandang sebagai sarjana ilmu politik pertama yang berhasil melukiskan UUD di lebih dari 500 negara-kota Yunani dengan jalan mencatat pembagian kekuasaan serta hubungan-hubungan kekuasaan dalam setiap Negara kecil itu.
Bagi mereka yang memandang Negara dari sudut pandang kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan. UUD dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislative, badan eksekutif, dan badan yudikatif. UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekusaan ini melakukan kerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain; UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu Negara. Dalam hubungan ini Herman Finer dalam buku Theory and practice of Modern Government menamakan UUD sebagai : “Riwayat suatu hubungan kekuasaan (the autobiography of a power relationship).”
Definisi UUD dari sudut pandang filsafat diberikan oleh Richard S. Kay, seorang ahli yang lebih kontemporer. Menurut Kay : “Maksud diadakannya UUD adalah untuk meletakkan aturan-aturan yang pasti yang memengaruhi perilaku manusia dan dengan demikian menjaga agar pemerintah tetap berjalan dengan baik (The purpose of a constitution is to lay down fixed rules that can affect human conduct and thereby keep government in good order).
Di samping UUD mempunyai status legal yang khusus, ia juga merupakan ungkapan aspirasi, cita-cita, dan standar-standar moral yang dijunjung tinggi oleh suatu bangsa. Banyak UUD  juga mencerminkan dasar-dasar Negara serta ideologinya. Sering unsur ideology dan moralitas ini dijumpai dalam mukadimah suatu UUD.

B.     Ciri-Ciri Undang-Undang Dasar
Walaupun UUD satu Negara berbeda dengan Negara lain, kalau diperhatikan secara cermat ada ciri-ciri yang sama, yaitu biasanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut :
1.      Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta hubungan di antara ketiganya. UUD juga memuat bentuk Negara (misalnya federal atau Negara kesatuan), beserta pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah Negara-bagian atau antara pemerintah dan pemerintah daerah. Selain itu UUD memuat prosedur untuk menyelesaikan masalah pelanggaran yuridiksi oleh salah satu badan Negara atau pemerintah dan sebagainya. Dalam arti ini UUD mempunyai kedudukan sebagai dokumen legal yang khusus.
2.      Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah tersendiri).
3.      Prosedur mengubah UUD (amandemen).
4.      Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
5.      Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga Negara dan lembaga Negara tanpa kecuali.
Selain itu mukadimah undang-undang dasar sering memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideology Negara. Ungkapan ini mencerminkan semangat dan spirit yang oleh penyusun UUD ingin diabadikan dalam UUD itu, sehingga mewarnai seluruh naskah UUD itu.

C.    Undang-Undang Dasar dan Konvensi
Sudah dikemukakan bahwa setiap UUD mencerminkan konsep-konsep dan alam pikiran dari masa di mana ia dilahirkan, dan merupakan hasil dari keadaan material dan spiritual dari masa ia dibuat. Oleh para penyusun UUD diusahakan agar ketentuan-ketentuan dalam UUD yang dibuat itu tidak lekas using dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu sering kali ketentuan-ketentuan dalam UUD hanya mengatur dan mencakup hal-hal dalam garis besarnya saja, sehingga dapat saja timbul masalah yang tidak diatur atau tidak cukup diatur dalam UUD. Hal ini disebabkan pertama, karena masyarakat terus berkembang secara dinamis; kedua, karena penyusun UUD tidak selalu mampu melihat ke depan hal-hal yang perlu diatur dalam UUD. Maka dari itu, disamping UUD yang berbentuk naskah tertulis, di beberapa Negara telah banyak timbul kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi.
Apakah konvensi itu? Konvensi adalah aturan perilaku kenegaraan yang didasarkan tidak pada undang-undang melainkan pada kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan dan presiden. Menurut Heywood kebiasaan-kebiasaan tersebut dijunjung tinggi baik oleh rasa kepatutan konstitusional (apa yang benar atau correct) ataupun oleh pertimbangan praktis (apa yang kemungkinan dapat dilaksanakan atau workable). Konvensi ada dalam semua system UUD, dan biasanya memberikan panduan ketika aturan formal tidak memadai atau tidak jelas. Dalam konteks UUD tidak tertulis, konvensi merupakan hal yang signifikan karena ia memberikan arahan tentang prosedur, kekuasaan, dan kewajiban dari institusi-institusi utama Negara. Dengan demikian ia mengisi adanya kekosongan dalam hokum yang terkodifikasi.

D.    Pergantian Undang-Undang Dasar
Adakalanya suatu UUD dibatalkan dan diganti dengan UUD baru. Hal semacam ini terjadi jika dianggap bahwa UUD yang ada tidak lagi mencerminkan konstelasi politik atau tidak lagi memenuhi harapan dan aspirasi rakyat. Misalnya, sesudah prancis dalam tahun 1946 dibebaskan dari pendudukan tentara Jerman, dianggap perlu untuk mengadakan UUD yang mencerminkan lahirnya Negara Prancis baru, yaitu Republik Prancis IV. Begitu pula pada tahun 1958 UUD dibatalkan dan diganti dengan suatu UUD yang melahirkan Republik Prancis V, di bawah pimpinan Presiden De. Gaulle. Kedua pergantian UUD menunjukkan ditinggalkannya masa lampau dan dimulainya halaman konstitusional yang baru. Sejak 1787 Prancis sudah mempunyai tidak kurang dari 17 UUD.
Di Indonesia kita telah melalui lima tahap perkembangan UUD, yaitu :
1.      Tahun 1945 (UUD Republik Indonesia yang de facto hanya berlaku di Jawa, Madura, dan Sumatra
2.      Tahun 1949 (UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku di seluruh Indonesia, kecuali Irian Barat)
3.      Tahun 1950 (UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berlaku di seluruh Indonesia, kecuali Irian Barat).
4.      Tahun 1959 (UUD Republik Indonesia 1945. UUD ini mulai 1959 berlaku di seluruh Indonesia, termasuk Irian Barat).
5.      Tahun 1999 (UUD 1945 dengan amandemen dalam masa Reformasi).
Lazimnya memang setiap pergantian UUD mencerminkan anggapan bahwa perubahan konstitusional yang dihadapi begitu fundamental, sehingga mengadakan amandemen saja terhadap UUD yang sedang berlaku dianggap tidak memadai.

E.     Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)
Selain pergantian secara menyeluruh, tidak jarang pula Negara mengadakan perubahan sebagian dari UUD-nya. Perubahan ini dinamakan amandemen. UUD biasanya memuat prosedur untuk menampung hasrat melakukan perubahan parsial tersebut. Pada umumnya dianggap bahwa suatu UUD tidak boleh terlalu mudah diubah, oleh karena hal itu akan merendahkan arti simbolis UUD itu sendiri. Di lain pihak hendaknya jangan pula terlalu sukar untuk mengadakan amandemen, supaya mencegah generasi mendatang merasa terlalu terkekang dan karenanya bertindak di luar UUD.
Namun secara umum bias disebut sebagai berikut :
1.      Melalui sidang badan legislative, kadang-kadang dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul amandemen dan jumlah minimum anggota badan legislative untuk menerimanya (contoh : Inggris, Israel, Belgia, dan UUD Republik Indonesia Serikat 1949). Di Inggris, bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa Parlemen-lah yang paling berwenang untuk mengubah atau tidak mengubah UUD. Demikian pula di Israel, Knesset-lah yang mempunyai wewenang tersebut.
2.      Referendum atau plebisit (contoh : swiss, Australia, Denmark, Irlandia, dan Spanyol). Di Negara-negara ini referendum dilaksanakan untuk memintakan persetujuan atau usul perubahan atau amandemen yang diajukan oleh anggota parlemen.
3.      Negara-negara bagian dalam Negara federal (contoh : Amerika Serikat : ¾ dari lima puluh Negara bagian harus menyetujui : contoh lain India). Di Jerman, untuk mengubah Basic Law harus ada persetujuan 2/3 dari anggota bundestag maupun Bundesrat.
4.      Musyawarah khusus (special convention) seperti yang diberlakukan di beberapa Negara Amerika Latin.

Di Indonesia wewenang untuk mengubah UUD ada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan ketentuan bahwa kuorum adalah 2/3 dari anggota MPR, sedangkan usul perubahan UUD harus diterima oleh 2/3 dari anggota yang hadir (Pasal 37). Sejak tahun 1999, tak lama setelah rezim Orde Baru berakhir kekuasaannya, UUD 1945 telah 4 kali diamandemen. Banyak perubahan yang sangat substansial dalam ketatanegaraan kita yang berubah akibat dari adanya amandemen tersebut.

F.     Supermasi Undang-Undang Dasar
UUD berbeda dengan undang-undang biasa. Undang-undang dasar di bentuk menurut cara yang istimewa. Cara tersebut berlainan dengan cara pembentukan undang-undang biasa. Demikian pula badan yang membuat UUD berbeda dengan badan yang membuat undang-undang biasa. Karena dibuat secara istimewa, maka UUD dapat dianggap sesuatu yang luhur. Ditinjau dari sutut politis, dapat dikatakan bahwa undang-undang dasar sifatnya lebih sempurna dan lebih tinggi daripada undang-undang dasar.
Dengan adanya gagasan bahwa UUD adalah hukum tertinggi (supremelaw) yang harus ditaati baik oleh rakyat maupun olah alat-alat perlengkapan Negara, maka timbullah persoalan siapakah yang akan menjamin bahwa ketentuan-ketentuan UUD benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh badan eksekutif maupun oleh badan – badan pemerintahan lainnya. Disini ada beberapa pikiran yang berbeda.
Di Inggris, Parlemen-lah yang dianggap sebagai badan yang tertinggi (parliamentary supremacy atau legislative supremacy) dan oleh karena itu hanya Parlemenlah yang boleh menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional dan menjaga agar semua undang-undang dan peraturan sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konstitusional itu. Ini berate bahwa parlemen merupakan satu-satunya badan yang boleh mengubah ataupun membatalkan undang-undang yang dianggapnya tidak sesuai dan bertentangan dengan ketentuan UUD. Hal ini berdasarkan gagasan bahwa kedaulatan rakyat diwakilkan kepada parlemen sehingga badan itu merupakan pemegang kedaulatan yang tertinggi.
Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian kekuasaan yang terlalu terpusat pada parlemen ini menuai kritik. Sebab keadaan demikian dapat menimbulkan apa yang disebut oleh Lord Hailsham (1976) elective dictatorship, dalam arti bahwa pemerintah dapat melakukan apa saja sepanjang ia mampu memegang kontrol mayoritas di parlemen. Kritik-kritik demikian pada gilirannya mengarah ke berkembangnya keinginan untuk merevisi struktur UUD yang lebih menjamin terdistribusinya kekuasaan pemerintah, misalnya melalui reformasi system pemilihan umum; atau dengan mengodifikasikan UUD yang lebih menjamin terlindunginya hak-hak asasi.
berbeda

G.    Undang-Undang Dasar Tidak Tertulis dan Undang-Undang Dasar Tertulis
Sudah lazim untuk mengadakan pembedaan antara UUD tertulis dan UUD tak tertulis. Menurut C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitutions, dan Frank Bealey dalam buku elements in Political Science pembedaan ini sebenarnya kurang tepat. Oleh karena tidak ada UUD yang seluruhnya tak tertulis; demikian pula tidak ada UUD yang seluruhnya tertulis. Suatu UUD umumnya disebut tertulis, bila merupakan satu naskah, sedangkan UUD tak tertulis tidak merupakan satu naskah dan banya dipengaruhi oleh tradisi dan konvensi. Oleh karena itu istilah lain untuk UUD bernaskah (kadang-kadang dinamakan codified constitution), sedangkan untuk UUD tak tertulis adalah UUD tak bernaskah (non-codified constitution).

·         Undang-Undang Dasar Tidak Tertulis
Inggris : salah satu UUD yang dewasa ini dianggap tak tertulis ialah UUD Inggris. UUD ini disebut tak tertulis karena tidak merupakan satu naskah, tetapi jika diselidiki benar-benar, ternyata bahwa sebagian terbesar UUD Inggris itu terdiri atas berbagai bahan tertulis berupa dokumen-dokumen resmi. Di Inggris tidak ada perbedaan antara Undang-Undang tata Negara dan undang-undang biasa, oleh karenanya Parlemen, sebagai badan tertinggi (parliamentary supremacy), berhak untuk mengadakan perubahan konstitusional dengan undang-undang biasa. Jadi hal ini berlainan dengan keadaan banyak Negara lain, dimana biasanya suatu badan yang lebih tinggi dari dewan perwakilan rakyat berhak untuk mengubah UUD.
Ketentuan-ketentuan ketatanegaraan Inggris yang merupakan UUD terdapat dalam :
1.      Beberapa undang-undang, antara lain :
a.       Magna Charta 1215 (yang ditandatangani oleh Raja John atas desakan golongan bangsawan). Meskipun naskah ini bersifat feudal, tetapi dianggap penting oleh karena untuk pertama kali raja mengakui beberapa hak dari bangsawan bawahannya.
b.      Bill of Rights 1689 dan Act of Settlement 1701. Kedua undang-undang ini merupakan hasil kemenangan Parlemen melawan raja-raja Dinasti Stuart karena memindahkan kedaulatan dari tangan raja ke tangan Parlemen (King in Parliament). Parlemen menghentikan Raja James II dari jabatannya dan mempersembahkan mahkota kepada Puteri mary dan suaminya Pangeran William of Orange (Holland) dalam apa yang dinamakan Glorious Revolution of 1688.
c.       Parliament Acts  1911 dan 1949. Kedua Undang-undang ini membatasi kekuasaan Majelis Tinggi (House of Lords) dan menetapkan supremasi Majelis Rendah (House of Commons). Misalnya, House of Lords dalam beberapa keadaan tertentu dilarang menolak rancangan undang-undang yang telah diterima oleh House of Commons.
2.      Beberapa keputusan hakim, terutama yang merupakan tafsiran terhadap undang-undang Parlemen.
3.      Konvensi-konvensi (aturan-aturan antara lain berdasarkan tradisi) yang mengatur hubungan antara cabinet dan Parlemen.

Jadi, UUD Inggris hanya dapat disebut “tak tertulis” dalam arti bahwa ia tidak bersifat naskah tunggal dan bahwa konvensi dan tradisi memegang peranan yang lebih penting daripada di Negara lain yang mempunyai UUD tertulis.
Konvensi menurut Edward M. Sait dalam bukunya Political Institutions, adalah : “Aturan-aturan perilaku politik (rules of political behavior).” Ada konvensi yang sudah berdasarkan tradisi beberapa puluh tahun, bahkan beberapa ratus tahun, sehingga sudah menjadi darah daging orang Inggris. Beberapa konvensi yang penting ialah :
1.      Prinsip tanggung jawab politik yang merupakan tulang punggung system pemerintahan Inggris, yaitu bahwa kabinet, kalau tidak lagi mendapat kepercayaan dari mayoritas anggota Majelis Rendah, harus mengundurkan diri.
2.      Jika cabinet mengundurkan diri, maka raja pertama-tama member kesempatan kepada pemimpin partai oposisi untuk membentuk kabinet baru.
3.      Setiap waktu, sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Majelis Rendah, perdana menteri dapat meminta kepada raja untuk membubarkan majelis itu dan mengadakan pemilihan umum baru. Dengan demikian perselisihan antara cabinet dan parlemen pada tahap terakhir diputuskan oleh rakyat.
4.      Perdana Menteri merupakan anggota Majelis Rendah.
Dilihat dari sudut yuridis, konvensi tidak mempunyai kekuatan hukum dan badan-badan pengadilan tidak dapat melaksanakannya. Dengan demikian timbul pertanyaan mengapa konvensi-konvensi ini ditaati. Salah satu sebabnya ialah  karena faktor praktisnya.

·         Undang-Undang Dasar Tertulis
Amerika Serikat : UUD Amerika Serikat yang disusun pada tahun 1787 dan diresmikan pada tahun 1789, merupakan naskah yang tertua di dunia. Hak asasi warga negara tercantum dalam suatu naskah tersendiri yang dinamakan Bill of Rights. Di samping itu ada beberapa ketentuan ketatanegaraan yang tidak termuat dalam UUD, misalnya adanya partai-partai politik, atau wewenang Mahkamah Agung untuk menguji undang-undang (judicial riview).
Ketentuan-ketentuan konstitusional Amerika Serikat terdapat dalam :
1.      Naskah UUD
2.      Sejumlah undang-undang
3.      Sejumlah keputusan Mahkamah Agung berdasarkan hak menguji
UUD Amerika Serikat tidak menyebut adanya partai politik. Hal ini diatur dalam undang-undang. Memang timbulnya partai politik terjadi di luar dugaan dan harapan dari para negarawan yang menyusuh UUD (The Fathers of the Constitution), sebab banyak di antara mereka mewakili golongan berada yang ingin mencegah rakyat jelata bertambah kuat. Sifat aristokratis ini ternyata terlihat dalam beberapa pasal UUD. Misalnya, secara formal presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi melalui pemilihan bertingkat oleh sebuah Majelis Pemilihan (Electoral College), yang anggota-anggotanya dipilih oleh negara-negara bagian. Tetapi sebagai akibat dari berkembangnya partai – partai politik, maka dewasa ini presiden praktis dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan pemilihan oleh Majelis Pemilihan hanya berupakan formalitas saja. Akan tetapi dalam keadaan yang sangat khusus hasil pemilihan Majelis Pemilihan dapat berbeda dengan hasil pemilihan umum langsung.

H.    Undang-Undangan Dasar yang Fleksibel dan Undang-Undang Dasar yang Kaku
UUD juga diklasifikasi menurut sifat fleksibel (supel) dan kaku (rigid). Dasar dari perbedaan ini menurut beberapa sarjana seperti C.F. Strong dan Rod Haque dalam Comparative government and Politics ialah apakah prosedur untuk mengubah UUD sama dengan prosedur membuat undang-undang. Suatu UUD yang dapat diubah dengan prosedur yang sama dengan prosedur membuat undang-undang disebut fleksibel, seperti Inggris, Selandia Baru, dan kerajaan Itali sebelum Perang Dunia II. UUD yang hanya dapat diubah dengan prosedur yang berbeda dengan prosedur membuat undang-undang disebut kaku, seperti Amerika Serikat, Kanak, dan Sebagainya.
Soal fleksibel atau tidak ini adalah penting. Kalau terlalu kaku, maka hal ini dapat mengakibatkan timbulnya tindakan-tindakan yang melanggar UUD, sedangkan kalau terlalu fleksibel maka UUD dianggap kurang berwibawa dan dapat disalahgunakan.
·         Undang-Undang Dasar yang Fleksibel
Inggris : Gagasan mengenai UUD yang fleksibel berdasarkan konsep supremasi parlemen (parliamentary supremacy). Parlemen dianggap sebagai satu-satunya lembaga yang mengubah atau membatalkan undang-undang yang pernah dibuat oleh badan itu. Mahkamah Agung tidak mempunyai wewenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD. Malahan parlemen dapat menyatakan bahwa sesuatu tafsiran seorang hakim adalah salah dan menggantinya dengan tafsiran Parlemen sendiri. Pernah dikatakan bahwa Parlemen Inggris dapat berbuat apa saja, kecuali mengubah pria menjadi perempuan atau perempuan menjadi pria Misalnya menurut Parliament Act 1911, Parlemen harus dibubarkan sesudah lima tahun. Tetapi dalam tahun 1915, waktu Perang Dunia I sedang berlangsung, Parlemen sampai lima kali menerima undang-undang yang memperpanjang hidup dirinya, sehingga baru dibubarkan tahun 1918. Jadi, parlemen Menyimpangan dari undang-undang (Parliament Act 1911) yang dibuatnya sendiri.
·         Undang-Undang Dasar yang Kaku
Jika kita mengadakan perbedaan berdasarkan perumusan tersebut di atas maka ternyata bahwa jauh lebih banyak UUD bersifat kaku dari pada undang dasar yang fleksibel. Kebanyakan UUD menentukan perlunya partisipasi dari beberapa badan lain di samping Parlemen untukmengambil keputusan semacam ini.
UUD yang kaku biasanya hasil kerja dari suatu konstituante yang dianggap lebih tinggi kekuasaannya daripada parlemen karena memiliki “Kekuasaan membuat UUD” (pouvoir constituant). Oleh karena biasanya konstituante dibubarkan pada saat tugasnya selesai, maka dirasa perlu untuk memberi pedoman bagi generasi mendatang mengenai prosedur mengubah UUD yang baru disusun itu. Malahan adakalanya dicantumkan ketentuan bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh diubah.
Ada ahli ilmu politik yang meragukan efektivitas larangan semacam ini, sebab setiap konstituante mempunyai kekuasaan yang tertinggi dan dapat berbuat menurut kehendaknya, termasuk mengubah bentuk republik menjadi monarki, dan sebagainya.

I.       Undang-Undang Dasar Indonesia
Dari sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat diketahui bahwa UUD yang berlaku telah beberapa kali berganti, yaitu dari UUD 1945, kemudian diganti UUD RIS 1949, lalu berganti lagi dengan UUD Sementara 1950, dan akhirnya kembali ke UUD 1945. UUD yang kini berlaku itu juga telah mengalami beberapa amandemen.
Ada tiga krisis yang langsung melibatkan UUD. Pertama, pada bulan November 1945 sistem pemerintahan presidensial diubah menjadi sistem pemerintahan parlementer. Kedua, Juli 1949 kita kembali ke UUD 1945. Ketiga, 1999-2002 terjadi empat amandemen yang banyak mengubah system ketatanegaraan kita.
Sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Indonesia. Pada waktu itu dinyatakan bahwa penetapan tersebut bersifat sementara dengan ketentuan bahwa enam bulan setelah perang berakhir, presiden akan melaksanakan UUD itu, dan enam bulan setelah MPR terbentuk, lembaga ini akan mulai menyusun UUD yang baru.
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno – Hatta, didukung oleh masyarakat luas, memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. PPKI secara resmi mendukung Proklamasi itu dan pada tanggal 18 Agustus 1945 mengeluarkan undang-undang untuk memberlakukan UUD yang telah disusun sebelumnya.
UUD itu menetapkan system pemerintahan presidensial dengan kekuasaan yang besar di tangan presiden, meskipun kekuasaan tertinggi berada di tangan MPR. Selain itu, ada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan agung yang berwenang memberi nasihat kepada presiden dan Mahkamah Agung.
Sifat sementara UUD itu terungkap dalam ketentuan bahwa enam bulan setelah perang berakhir, presiden akan melaksanakan UUD itu, dan bahwa enam bulan setelah pembentukannya, MPR akan memulai menyusun sebuah UUD baru.
PPKI pada 18 Agustus 1945 memilih Soekarno dan Hatta, masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden. Pada 22 Agustus 1945, PPKI membentuk sebuah partai Negara, Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Kekuasaan dan wewenang KNIP, yang anggota-anggotanya dipilih oleh Soekarno Hatta dari kalangan orang-orang yang menjadi pendorong kuat proklamasi kemerdekaan, ternyata mengalami berbagai perubahan penting pada hari-hari pertama revolusi.
Kelompok yang mendorong perubahan ini terpengaruh oleh berbagai hal. Yang terpenting diantaranya ialah kekhawatiran terhadap kecenderungan sebagai kelompok pemuda militant kea rah fasisme yang telah bertumbuh selama pendudukan Jepang. Kekhawatiran ini diperkuat oleh dua factor, yaitu didirikannya satu partai Negara (PNI) dan kekuasaan besar yangdiberi UUD kepada satu orang, yaitu presiden.
Untuk mencapai tujuannya, kelompok ini bekerja melalui beberapa tahap, sebagai langkah pertama, pada tanggal 7 Oktober 1945, 50 dari 150 anggota KNIP menyerahkan sebuah petisi kepada pemerintah agar KNIP tidak hanya sebagai badan penasihat tetapi juga diberi kekuasaan legislative. Baik Soekarno maupun Hatta setuju dan pada tanggal 16 Oktober 1945, dalam rapat KNIP berikutnya di Jakarta, Wakil Presidenatas nama Presiden menandatangani Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945. Ditentukan bahwa selama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan perwakilan Rakyat (DPR) belum dapat dibentuk, KNIP akan diberi kekuasaan legislatif dan wewenang untuk ikut serta dalam penentuan garis-garis besar haluan Negara.
Oleh karena disadari bahwa suatu badan yang bear seperti KNIP tidak mungkin melaksanakan fungsinya dalam keadaan genting yang sedang dihadapi, ditentukan juga bahwa tugas harian KNIP akan dijalankan oleh suatu Badan Pekerja yang dipilih dari anggota KNIP dan bertanggung jawab (ministerial responsibility) kepada KNIP. Sjahrir di angkat sebagai ketua Badan Pekerja, yang kemudian menjadi penggerak revolusi.
Sebagai langkah ahir, pada tanggal 11 November 1945 Badan Pekerjaan mengajukan petisi kepada pemerintah agar para menteri kabinet bertanggung jawab kepada KNIP, bukan kepada presiden. Pemerintah setuju dan untuk itu mengeluarkan Maklumat Presiden yang mulai berlaku pada tanggal 14 November 1945. Kemudian, Presiden Soekarno melantik kabinet parlemen yang pertama dengan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Dengan demikian UUD telah diamandemen dari system presidensial menjadi parlementer.
Dalam rapat plenonya yang ketika di Jakarta pada tanggal 25-27 Nevember 1945, KNIP menerima baik keputusan ini dan memberi dukungan kepada Kabinet Sjahrir. Dengan demikian, praktis presiden menjadi kepala Negara, sedangkan perdana menteri menjadi kepala pemerintahan. Juga, perubahan dari presidensial menjadi system parlementer telah tuntas. Dengan demikian peristiwa pertama telah selesai. System ini selanjutnya dikukuhkan dalam UUD Republik Indonesia Serikat 1949.
Melalui pemindahan ke system parlementer, maka jabatan kepala Negara (presiden) dipisahkan dari jabatan kepala pemerintahan (perdana menteri). Selain dari memperluas basis perjuangan karena mengikutsertakan semua kekuatan antifasis dalam perjuangan kemerdekaan, perubahan ini juga memungkinkan untuk tetap mempertahankan Presiden Soekarno sebagai “simbol” kepala Negara dan pemersatu rakyat.
Betapa besarnya pengaruh Presiden Soekarno terlihat dari fakta bahwa selama undang-undang dasar ini berlaku (Agustus 1945 sampai akhir 1949), telah terjadi beberapa kali praktik kenegaraan yang agak menyimpang, di tangan presiden dan dengan demikian member kesempatan kepada pemerintah untuk menanggulangi dengan cepat keadaan darurat yang timbul. Hal ini terjadi tiga kali yaitu :
1.      Dengan Maklumat Presiden, presiden mengambil alih kekuasaan dari 28 Juni sampai 2 Oktober 1946 untuk mengatasi keadaan darurat yang diakibatkan oleh penculikan terhadap beberapa anggota cabinet oleh Persatuan Perjuangan. Organisasi ini tidak menyetujui perundingan dengan pihak Belanda.
2.      Dengan Maklumat Presiden, presiden mengambil alih kekuasaan dari 27 Juni 1947 sampai 3 Juni 1947 untuk mengatasi keadaan darurat yang timbul sebagai akibat dari penandatanganan Persetujuan Linggarjati. Pengambilan keputusan ini hanya berjalan selama satu minggu, dalam masa itu Kabinet Sjahrir mengundurkan diri dan cabinet Amir Syarifuddin dibentuk.
3.      Dengan suatu undang-undang badan legislative (yaitu Badan Pekerja yang bertindak atas nama Komite Nasional) member kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada presiden selama tiga bulan mulai 15 September 1948 (Undang-Undang No. 20 September 1948). Pemberian kekuasaan penuh ini dimaksudkan untuk mengatasi pemberontakan PKI di Madiun.

Kenyataan adanya praktik kenegaraan yang berbeda dengan naskah UUD ini terjadi akibat dahsyatnya perkembangan dan dinamika politik selama periode revolusi dan pergolakan-pergolakan yang diakibatkan olehnya.
Sejak saat itu perubahan terhadap UUD 1945 (dengan jalan amandemen telah dilakukan empat kali. Perubahan pertama dilakukan melalui Sidang Umum MPR Oktober 1999. Perubahan kedua melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Perubahan ketiga melalui Sidang Tahunan MPR Oktober 2001. Dan perubahan keempat dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2002. UUD 1945 yang telah diamandemen inilah yang sekarang menjadi UUD kita.
Apabila diperhatikan dengan cermat, terdapat substansi yang amat penting dan mendasar dari perubahan-perubahan dalam ketatanegaraan kita. Memang ada juga perubahan yang lebih bersifat idealistis yang pada praktiknya sukar untuk dilaksanakan. Berikut ini adalah perubahan yang bersifat mendasar dan nyata dalam system ketatanegaraan kita setelah amandemen.
Pertama, hasil amandemen tahap pertama adalah Pasal 7 yang isinya menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya satu kali masa jabatan. Sebelum diamandemen frase “hanya untuk satu kali masa jabatan” tidak ada. Selanjutnya dalam amandemen ketiga disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Ini berbeda sama sekali dengan sebelumnya di mana presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR.
Kedua, semua anggota MPR diangkat melalui pemilihan umum. Hal ini terlihat dari hasil amandemen kedua dan ketiga. Di sana dinyatakan bahwa semua anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan unsure MPR jika mereka melakukan sidang gabungan. Diangkat melalui pemilu. Ketentuan UUD ini berbeda sama sekali dengan sebelumnya, dimana cukup besar jumlah anggota MPR yang diangkat. Untuk pertama kalinya pula (melalui amandemen ketiga) dinyatakan dalamUUD bahwa pemilu dilaksanakan oleh sebuah komisi pemilihan umum (KPU) yang bersifat nasional, tetapi, dan mandiri. Keberadaan partai politik juga menjadi nyata disebutkan di dalam UUD. Sebelum amandemen UUD 1945 tidak menyebut-nyebut partai politik.
Ketiga, kekuasaan DPR dalam pembuatan undang-undang semakin besar. Dari amandemen tahap pertama, dinyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membuat Undang-Undang: setiap Rancangan Undang-Undang dibahas DPR bersama presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Selain itu anggota DPR berhak mengajukan usul Rancangan Undang-Undang. Kemudian pada amandemen kedua diperkuat dengan tambahan satu ayat pada pasal 20, yaitu ayat (5), yang menyatakan bahwa dalam hal Rancangan  Undang-Undang yang telah disetujui bersama (oleh DPR dan pemerintah) tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak disetujui, Rancangan Undang-UNdang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Ini berbeda dengan sebelum amandemen, dimana Rancangan Undang-Undang yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak disetujui , maka yang berlaku adalah undang-undang yang lama.
Keempat, di bidang yudikatif juga ada kemajuan yang bersifat mendasar, yaitu adanya Mahkamah Konstitusi yang berhak melakukan uji undang-undang terhadap UUD pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga berhak memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang dierikan oleh UUD, membubarkan partai politik, dan dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Hal ini merupakan hasil dari amandemen ketiga. Selain yang disebutkan di atas masih banyak hasil-hasil lain.
Selanjutnya, termasuk kaku atau fleksibelkah UUD Indonesia? Baik UUD 1945 maupun UUD 1949 dan UUD 1950 boleh dinamakan UUD yang kaku menurut rumusan klasifikasi C.F.Strong. alasannya, prosedur untuk mengadakan perubahan atas UUD berbeda dengan prosedur membuat undang-undang. Bukti dari hal ini dapat kita saksikan sebagai berikut :
a.       Menurut ketentuan UUD 1945 (Pasal 37) untuk mengubah UUD, sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, sedangkan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir harus menyetujui usul perubahan UUD itu. Sedangkan prosedur pembuatan undang-undang dilakukan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5).
Nyatalah bahwa prosedur untuk mengadakan perubahan UUD 1945 berbeda dengan prosedur membuat undang-undang. Oleh karena itu UUD 1945 dapat digolongkan sebagai UUD yang kaku jika dipakai klasifikasi C.F. Strong. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa UUD 1945 oleh para penyusun UUD dimaksudkan sebagai “Soepel” dan tidak kaku.
b.      Menurut Ketentuan Pasal 190 UUD 1949 (R.I.S) baik Senat maupun Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai wewenang untuk mengadakan jumlah anggota siding harus hadir, sedangkan dari jumlah anggota yang hadir 2/3 harus menerima usul perubahan UUD. Sedangkan prosedur pembuatan undang-undang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (dan Senat) tanpa ditentukan syarat kuorum seperti dalam hal mengadakan perubahan UUD (Pasal 127).
Jadi, jelaslah bahwa prosedur untuk mengadakan perubahan pada UUD 1949 juga tidak sama dengan prosedur pembuatan undang-undang, sehingga oleh karenanya UUD 1949 dapat digolongkan sebagai UUD yang kaku kalau dipakai klasifikasi C.F. Strong.
c.       Akan halnya UUD Sementara 1950, menurut ketentuan Pasal 140 UUD tersebut, wewenang untuk mengadakan perubahan UUD diberikan kepada suatu badan bernama Majelis Perubahan UUD yang terdiri dari anggota-anggota Komite Nasional Pusat (KNIP) yang tidak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Untuk Majelis Perubahan UUD ini juga berlaku ketentuan Pasal 75 bahwa sidang hanya sah jika dihadiri oleh lebih dari setengah dari jumlah anggota sidang, sedangkan usul perubahan UUD harus disetujui oleh jumlah suara terbanyak. Dalam pada itu prosedur pembuatan undang-undang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 89). Jadi teranglah juga bahwa di sini prosedur perubahan UUD 1950 berlainan dengan prosedur pembuatan undang-undang, sehingga oleh karenanya UUD 1950 juga dapat digolongan sebagai UUD yang kaku jika dipakai klasifikasi C.F. Strong.

Dalam hubungan ini perlu ditegaskan bahwa para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pandangan lain mengenai fleksibel tidaknya suatu UUD. Mengenai UUD 1945 yang hanya terdiri dari 37pasal, mereka dalam penjelasan menyebutkan singkat dan “soepel” (elastis) berdasarkan pertimbangan sebagai berikut : “UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggaraan Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagi Negara baru dan Negara muda, lebih baik hokum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah, dan mencabut.”
Penyusunannya untuk memperhitungkan dinamika perkembangan masyarakat kita. Tidak tertutup kemungkinan bahwa para penyusun tidak mempunyai waktu cukup untuk memikirkan suatu UUD sampai ke pasal-pasal kecilnya. Malahan, kalau membaca Aturan Tambahan dari UUD yang menentukan bahwa enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Majelis Permusyawaratan Rakyat harus dibentuk dan enam bulan sesudah dibentuk harus bersidang untuk menetapkan UUD, dapat ditarik kesimpulan bahwa para penyusun UUD memperhitungkan bahwa UUD 1945 tidak akan berlaku lama.
Meskipun demikian, rumusan UUD 1945 cukup member kerangka konstitusional untuk dipakai dalam menghadapi masa depan. Perumusannya juga tidak mengekang generasi-generasi baru untuk berkembang sesuai dengan tuntutan zamannya, sehingga dengan segala kelemahan yang melekat padanya dapat diterima oleh semua golongan masyarakat untuk kurun waktu yang cukup lama sebelum kemudian (pada tahun 1999-2002).

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Definisi UUD dari sudut pandang filsafat diberikan oleh Richard S. Kay, seorang ahli yang lebih kontemporer. Menurut Kay : “Maksud diadakannya UUD adalah untuk meletakkan aturan-aturan yang pasti yang memengaruhi perilaku manusia dan dengan demikian menjaga agar pemerintah tetap berjalan dengan baik (The purpose of a constitution is to lay down fixed rules that can affect human conduct and thereby keep government in good order).
Di samping UUD mempunyai status legal yang khusus, ia juga merupakan ungkapan aspirasi, cita-cita, dan standar-standar moral yang dijunjung tinggi oleh suatu bangsa. Banyak UUD  juga mencerminkan dasar-dasar Negara serta ideologinya. Sering unsur ideology dan moralitas ini dijumpai dalam mukadimah suatu UUD.

B.     Saran
Dari pembahasan diatas maka kami menyarankan agar para pembaca mengetahui dan memahami tentang “Undang-Undang Dasar”. Serta lebih mengerti dan bisa menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo Miriam, 2008, “Dasar-Dasar Ilmu Politik” PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta