HAK – HAK ASASI MANUSIA


Dosen Pengampu : Drs. Nahar Effendi, M.Si

RESUME
HAK – HAK ASASI MANUSIA
A. Pengantar
      Diskusi internasional di pbb mengenai hak asasi manusia telah menghasilkan beberapa piagam penting antara lain:
o   Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948),
o   Dua perjanjian yaitu Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), dan
o   Deklarasi Wina (1993). Deklarasi Wina mencerminkan tercapaianya konsensus antara negara-negara Barat dan non-Baratd bagwa hak asasi memiliki sifat yang universal, sekalipun dapat terjadi perbedaan dalam implementasinya, sesuai keadaan khas masing-masing negara.
          Cikal bakal konsep hak asasi manusia di dunia Barat terdapat dalam karangan beberapa filsuf abad ke-17, antara lain John Locke (1632-1704) yang merumuskan beberapa hak alam (natural rights) yang memiliki manusia secara alamiah. Konsep ini bangkit kembali seusai Perang Dunia II dengan decanangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Deklaration of Human Rights, 1948) oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB. Hampir dua puluh tahun kemudian, Deklarasi Universal di jabarkan dalam dua perjanjian internasional yaitu Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kobenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966). Di Eropa proses standard setting antara negara “Barat” dan negara “Timur” (komunis diteruskan dengan diterimanya Helsinki Accord(1975).


B.  Perkembangan Hak Asasi Manusia Di Eropa
     Pada tahun 1215 ditandatangani suatu perjanjian Magna Charta, antara Raja John dari Inggris dan sejumlah bansawan. Raja John dipaksa mengakui beberapa hak dari para bangsawan sebagai imbalan untuk dukungan mereka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang. Hak yang dijamin mencakup hak politik dan sipil yang mendasar, seperti hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas corpus). Sekalipun pada awalnya hanya berlaku untuk bangsawan, hak-hak itu kemudian menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris yang berlaku bagi semua warga negara.
C. Hak asasi Manusia pada Abad ke-20 dan Awal Abad ke-21
     Dalam perkembangan berikutnya terjadi perubahan dalam pemikiran mengenai hak asasi, antara lai karena terjadinya depresi besar(The Great Depression) sekitar tahun 1929 hingga 1934, yang melanda sebagian besar dunia. Sebagian besar masyarakat tiba-tiba ditimpa pengangguran dan kemiskinan.
     Pada 1941, oleh Presiden Amerika Serikat dirumuskan Empat Kebebasan (The Four Freedoms), yaitu kebebasand berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech),  kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari ketakutan (freedom from fear),  dan kebebasan dari kemiskinan (freedom  from want).
     Hak untuk bebas dari kemiskinan mencerminkan perubahan dalam pemikiran beberapa kalangan, sekalipun masih terbatas pada segelintir orang yang berpandangan luas. Dan hak politik sendiri tidak cukup menciptakan kebahagiaan. Misal hak untuk memberi suara pada fdalam pemilu sekali dalam empat atau lima tahun, tidak ada artinya bagi orang miskin, kecuali jika disertai pemenuhan kebutuhan yang paling pokok, yaitu tempat berlindung, pangan, dan pakaian.
D. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948)
      Dalam sidang Komisi HAM, kedua jenis hak asasi manusia dimasukkan sebagai hasil kompromi antara negara-negara Barat dan negara-negara lain, sekalipun hak politik masih lebih dominan. Pada 1848 hasil pekerjaan Komisi ini, Universal Declaration of Human Rights, diterima 48 negara dengan catatan bahwa delapan negara, antara lain Uni Soviet, Arab Saudi, dan Afrika Selatan tidak memberikan suaranya atau abstain.
E.  Dua Kovonen Internasional
      Tahap kedua yang ditempuh oleh Komisi Hak Asasi PBB adalah menyusun “sesuatu yang lebih mengikat daripada deklarasi belaka (Something more legally binding than a mere declaration)”,dalam bentuk dua perjanjian, yakni Hak Politik dan Sipil, dan yang kedua meliputi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

F.  Perdebatan Dalam Forum PBB
      Kesukaran adalah perbedaan sifat antara hak politik dan hak ekonomi, yang kadang-kadang menuju kesuatu “ketegangan” antara dua jenis hak asasi ini. Hak politik, seperti telah diuraikan diatas, merupakan warisan dari aliran liberalisme abad ke-17 dan ke-18. Hak-hak alam (natural rights) yang merupakan hasil pemikiran waktu.

UNDANG-UNDANG INTERNASIONAL HAM
(Internasional Bill of Human Rights)
Mencakup :
1.    Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).
2.    Kovenan Internasional Hak Ekonomi, sosial, dan Budaya (1966/1976).
3.    Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966/1976)
4.    Optional Protocol dari kovenan internasional Hak Sipil dan Politik (mengenai pengaduan perorangan) (1966/1976).
5.    Optional Protocol II dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan politik yang bertujuan menghapuskan hukuman mati (1989).
      Hak-hak ini sangat menekankan kebebasan individu dan mencakup antara lain hak menyatakan pendapat, dan hak untuk secara bebas mendirikan atau memasuki organisasi yang diinginkan. Hak-hak ini merupakan bagian utama dari perjuangan untuk menegakkan kehidupan demokrasi. Hak ekonomi lebih bertujuan meningkatkan  kesejahteraan masyarakat. Hak politik dimaksud untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa, karena negara sedikit banyak dianggap sebagai ancaman bagi manusia.
      Jika pelaksanaan hak politik memerlukan dibatasinya peran pemerintah, maka untuk melaksanakan hak ekonomu tidak cukup hanya melalui perundang-undangan saja. Pemerintah harus aktif menggali semua sumber kekayaan dan mengatur kegiatan ekonomi sedemikian rupa sehingga tercipta iklim yang kondusif untuk penegakan hak ekonomi. Kewajiban itu akan mendorong pemerintah untuk mengatur dan mengadakan campur tangan yang terlalu luas dalam banyak aspek kehidupan masyarakat.
1.   Pembatasan dan Konsep Non –Derogable
       Usaha untuk mencapai kata sepakat mengenai Kovenan Hak Sipil mengalami kesukaran karena implementasi hak tersebut menyangkut masalah hukum internasional yang sangat rumit sifatnya, seperti masalh kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional, kedaulatan suatu negara, dan soal domestic yurisdiction. Pasal 2 piagam PBB menentukan bahwa badan itu tidak diperkenankan campur tangan dalam hal-hal yang berkenaan dengan yurisdiksi domestik masing-masing negara.
       Beberapa sifat hak Asasi :
1.    Hak Asasi umumnya tidak terkena restriksi (atau batasan).
2.    Hak Asasi boleh di restriksi dalam keadaan darurat.
3.    Ada hak asasi yang boleh direstriksi oleh Undang-undang : pasal 19 (mempunyai pendapat). Pasal 21 ( berkumpul secara damai ), pasal 22 (berserikat).
4.    Ada hak asasi yang tidak boleh direstriksi  dalam keadaan apapun : pasal 6 (hak atas hidup), pasal 7 (siksaan), pasal 8 (anti perbudakan ), pasal 11 (antipasang badan), pasal 15 (sifat kadaluwarsa tindakan kriminal atau non-retroaktif), pasal 16 ( pribadi atau person dihadapan hukum), pasal 18 (berpikir, berkeyakinan, beragama).
      Tiada dalam piagam ini yang memberi wewenang kepada PBB untuk campur tangan dalam hal-hal yang pada hakikatnya termasuk yuridiksi domestik setiap negara.
      Hak Sipil dan Politik mencakup antara lain :
1.    Pasal 6  : Hak atas hidup  menyangkut masalah aborsi dan euthanasia   
2.    Pasal 7 : Hak untuk tidak disiksa
3.    Pasal 9  : Hak atas kebebasan dan keamanan dirinya
4.    Pasal 14  : Hak atas kesamaan di muka badan-badan peradilan
5.    Pasal 15  : Hak untuk tidak dikenai konsep retroaktif (kadaluwarsa)
6.    Pasal 18  : Hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama
7.    Pasal 19  : Hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan
8.    Pasal 21  : Hak atsa kebebasan berkumpul secara damai.
9.    Pasal 22  : Hak atas kebebasan untuk berserikat.

Hak ekonomi, sosial, dan Budaya mencakup antara lain :
1.    Pasal 6  : Hak atas pekerjaan
2.    Pasal 8 : Hak untuk membentuk serikat sekerja.
3.    Pasal 9  : Hak atas pensiun.
4.    Pasal 11 : Hak atsa tingkat kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya.
5.    Pasal 13 : Hak atas pendidikan.

      Berdasarkan hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

2.   Masalah Ratifikasi
       Sebelum kedua kovenan PBB berlaku secara internasional, ditempuh beberapa tahap :
a.    Sidang pleno PBB menerima baik
b.   Pemerintah negara masing-masing membubuhi tanda tangan
c.   Parlemen negara masing-masing meratifikasi perjanjian itu
d.   Perjanjian baru berlaku sesudah diratifikasi oleh sejumlah negara tertentu.

      Meratifikasi suatu negara berarti bahwa negara yang bersangkutan mengikat diri untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan perjanjian dan bahwa ketentuan-ketentuan itu menjadi bagian dari hukum nasionalnya.
      146 negara yang telah meratifikasi Kovenan Ekonomi, sosial dan budaya dan 149 negara telah meratifikasi Kovenan sipil dan Politik, antara lain Australia, Denmark, Ekuador, Jerman, Inggris, Filipina, Thailand, Rumania, Uni soviet, dan Yugoslavia.

3.   Hak dan Kewajiban
      Di tengah-tengah kontroversi mengenai masalah apakah hak asasi sifatnya universal atau tidak, dan mengenai keterkaitan antara pandangan dunia barat dan pandangan dunia non-Barat, tiba-tiba muncul suatu dokumen yang menggemparkan yaitu A Universal Declaration of Human Responsibilities.
       Dalam pasal 29 dari Deklarasi Hak Asasi Manusia maupun dalam beberapa pasal Kovenan Hak Sipil dan Politik, mengenai hak mengeluarkan pendapat, telah juga disebutkan bahwa disamping hak juga ada kewajiban terhadap masyarakat, terutama untuk mematuhi undang-undang yang mengatur keamanan dan kesusilaan masyarakat. Deklarasi Universal tanggung jawab Manusia merupakan Respons terhadap dua aliran pikiran ini.
       Laporan Helmut Schmidt dimulai dengan uraian bahwa di Barat ada tradisi menjunjung tinggi konsep-konsep seperti kebebasan dan individualisme, sedangkan di dunia Timur konsep mengenai tanggung jawab dan komunitas  lebih dominan.
Konsep mengenai kewajiban manusia berfungsi sebagai penyeimbang antara konsep kebebasan dan tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai sikap moral, berfungsi sebagai kendala alamiah serta sukarela terhadap kebebasan yang dimiliki orang.
       Menyinggung pandangan masyarakat bahwa hak dalam Deklarasi HAM (1948) sangat bersifat individualistis, maka laporan itu menghimbau agar hak atas kebebasan tidak menuju sikap hanya memntingkan haknya sendiri, tanpa mengindahkan hak atas kebebasan orang lain.
       Laporan Panitia Kecil menekankan bahwa untuk mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, ada suatu kaidah lama yang dapat dipakai sebagai pedoman.
       Kaidah ini mencakup beberapa sikap yang menarik untuk disimak karena agak berbeda dengan pemikiran mainstream mengenai kewajiban :
1.    Jika kita mempunyai hak atas hidup, maka kita akan mempunyai kewajiban menghormati hidup itu.
2.    Jika kita mempunyai hak atas kebebasan, maka kita akan mempunyai kewajiban menghormati kebebasan orang lain.
3.    Jika kita mempunyai hak atas keamanan, maka kita juga mempunyai kewajiban menciptakan kondisi bagi semua orang untuk menikmati keamanan kemanusiaan itu.
4.    Jika kita mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam proses politik di negara sendiri dan memilih pemimpin-pemimpin kita, maka kita mempunyai kewajiban berpartisipasi dan berusaha agar pemimpin-pemimpin terbaik yang terpilih
5.    Jika kita mempunyai hak bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan untuk memberikan taraf hidup yang layak bagi kita serta keluarga, maka kita juga mempunyai kewajiban untuk bekerja dengan penuh kemampuan kita.
6.    Jika kita mempunyai kebebasan berpikir,mempunyai hati nurani, dan beragama, maka kita juga mempunyai kewajiban menghormati pemikiran atau agama orang lain.
7.    Jika kita mempunyai hak memperoleh pendidikan, maka kita mempunyai kewajiban untuk belajar penuh sesuai dengan kemampuan kita dan dimana mungkin, membagi pengetahuan serta pengalaman kita dengan orang lain.
8.    Jika kita mempunyai hak menikmati kekayaan alam, maka kita mempunyai kewajiban menghormati, memelihara, dan memulihkan bumi serta sumber-sumber alamnya.

4.   Peran Negara – Negara Dunia Ketiga
      Ada pendapat bahwa negara-negara Barat jangan terlalu terobsesi dan hak politik dan mengkritik negara-negara yang kurang mampu melaksanakannya. Mereka perlu mempertimbangkan juga beberapa faktor sbb :
a.    Pentingnya kesetaraan hak politik dan hak ekonomi, juga tercermin dalam pelaksanaanya misalnya agar kerjasama antara negara Barat dengan non-Barat dilaksanakan atas dasar sama derajat, tanpa terkait dengan syarat-syarat tertentu.
b.   Pentingnya komunitas, disamping individu.
c.   Pentingnya hak dibarengi dengan kewajiban, agar ada keseimbangan antara hak individu dan kewajinbannya terhadap sesama manusia dan terhadap masyarakat dimana ia berada.
d.   Pentingnya mempertimbangkan kekhasan setiap negara yang mungkin akan memberi warna tersendiri pada proses pelaksanaan hak asasi.
      Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Persatuan Afrika pada 1981 berhasil menyusun Banjul Carter yang mulai berlaku pada 1987. Dalam naskah itu negara-negara tersebut merumuskan berbagai ciri khas bangsa-bangsa Afrika dan menghubungkannya dengan hak politik dan ekonomi yang tercantum dalam dua kovenan PBB.
      Tulisan Khalid M.Ishaque yang berjudul Human Rights in Islamic Law yang diterbitkan oleh The Review dari International Commission on Jurists (Juni, 1974) yaitu:
§  Hak untuk hidup
§  Hak untuk memperoleh keadilan
§  Hak persamaan
§  Kewajiban untuk memenuhi apa yang sesuai dengan hukum, serta hak untuk tidak patuh kepada apa yang tidak sesuai dengan hukum
§  Hak kebebasan
§  Hak kebebasan kepercayaan
§  Hak untuk menyatakan kebenaran
§  Hak mendapatkan perlindungan terhadap penindasan karena perbedaan agama
§  Hak mendapatkan kehormatan dan nama baik
§  Hak ekonomi
§  Hak untuk memiliki

      Sesudah diperdebatkan di dalam dan di luar parlemen, Singapure White Paper on Shared Values diterima pada Januari 1991. Bagi Indonesia, menarik untuk menyimak lima nilai ini karena dirumuskan secara sederhana dan rasional :
1.    Kepentingan negara di atas kepentingan komunitas dan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi
2.    Keluarga sebagai kesatuan dasar masyarakat
3.    Dukungan komunitasa serta respek untuk individu
4.    Konsensus, bukan konflik
5.    Harmoni rasial dan religius

      Deklarsi Bangkok yang pada April 1993 diterima oleh para menteri dan wakil dari negara-negara Asia mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat diwilayah itu. Naskah ini mempertegas berbagai konsep dan prinsip :
1.    Hak asasi bersifat universal, artinya berlaku untuk semua manusia dari semua ras, agama, kelompok etnis, kedudukan sosial dan sebagainya
2.    Hak asasi tidak boleh dibagi-bagi . harus dilihat dalam keseluruhannya
3.    Tidak dibenarkan memilih diantara beberapa kategori hak asasi dan menganggap bahwa satu kategori lebih penting  dari yang lain.
4.    Hak asasi pembangunan adalah salah satu hak asasi
5.    Pelaksanaan hak asasi tidak boleh menjadi syarat untuk bantuan pembangunan
6.    Kekhasan nasional, regional, sejarah, budaya dan agama merupakan hal yang perlu dipertimbangkan.
7.    Hak untuk menentukan nasib sendiri

HAK-HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
      Hak asasi manusia di indonesia telah mengalami pasang surut. Sesudah dua periode represi ( rezim Soekarno dan rezim Soeharto ), reformasi berusaha lebih memajukan hak asasi. Akan teta[i dalm kenyataannya harus menghadapi tidak hanya pelanggaran hak secara vertikal, tetapi juga horizontal.
A. Masa Demokrasi Parlementer
       Diskusi dilakukan menjelang dirumuskannya Undang-undang Dasar 1945,1949,1950, pada sidang konsituante( 1956-1959), pada masa awal penegakan Orde Baru menjelang sidang MPRS 1968, dan pada masa Reformasi  (sejak 1998).
         Hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945 tidak termuat dalam suatu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama pasal 27-31, dan mencakup baik bidang politik maupun ekonomi, sosial dan budaya, dalam jum;lah terbatas dan dirumuskan secara singkat.
         Ternyata pada waktu rancangan naskah UUD dibicarakan, ada perbedaan pendapat mengenai peran hak asasi dalam negara demokratis. Banyak kalangan berpendapat bahwa Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen (1789) berdasarkan individualisme dan liberalisme, dan karena itu bertentangan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong.
         Masalah hak asasi di masa perjuangan Kemerdekaan dan awal Demokrasi Parlementer tidak banyak didiskusikan. Memang ada beberapa konflik bersenjata, seperti Darul Islam, PRRI/ Permesta yang penyelesaiannya tentu saja membawa korban pelanggaran hak asasi, tetapi kehidupan masyarakat sipil pada umumnya dianggap cukup demokratis, malahan sering dianggap terlalu demokratis. Keadaan ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno (1959) untuk kembali ke UUD 1945, dan mulailah masa Demokrasi Terpimpin.

B.  Masa Demokrasi Terpimpin
         Dengan kembalinya Indonesia ke UUD 1945 dengan sendirinya hak asasi kembali terbatas jumlahnya. Di bawah Presiden Soekarno beberapa hak asasi, seperti hak mengeluarkan pendapat, secara berangsur-angsur mulai dibatasi. Rencana itu diganti dengan Rencana Delapan Tahun, yang tidak pernah dilaksanakan. Perekonomian Indonesia mencapai titik terendah. Akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti dengan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru.

C. Masa Demokrasi Pancasila
         Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi yang termuat dalam UUD melalui  suatu panitia MPRS yang kemudian menyusun “Rancangan Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara” untuk diperbincangkan dalam sidang MPRS V tahun 1968.
         Di Indonesia ada dua aliran pemikiran mengenai hak-hak asasi :
1.    Inward looking, berpendapat bahwa dalam membahas hak asasi kita hanya memakai Indonesia sebagai referensi, karena kita sudah kenal hak asasi mulai dari zaman dulu kala. Pendapat ini berarti bahwa Indonesia tidak perlu menghiraukan pendapat dari luar serta naskah-naskah hak asasinya.
2.    Outward looking, aliran ini adalah kelompok aktivis Hak Asasi Manusia yang sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit, cendrung mengacu pada perumusan persepsi dunia Barat dengan lebih menonjolkan hak-hak politik.

D. Masa Reformasi
         Pemerintah Habibie (Mei 1998-Oktober 1999) pada awal masa reformasi mencanangkan  Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-2003, yang sampai sekarang belum banyak dilaksanakan. Dalam masa Reformasi, Indonesia meratifikasi dua Konvensi Hak Asasi Manusia yang penting yaitu konvensi menetang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam. Tahun-tahun pertama Reformasi ditandai oleh konflik horisontal, antara lain di Ambon, Poso dan Kalimantan dimana pelanggaran hak asasi dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sendiri.

E.  Hak Asasi Perempuan
         Konsep Hak Asasi Perempuan  (HAP) memiliki dua makna yang terkandung di dalamnya :
1.    Hak asasi perempuan hanya dimaknai sekedar berdasarkan akal sehat. Logika yang dipakai adalah pengakuan bahwa perempuan adalah manusia, dan karenanya sudah sewajarnya mereka juga memiliki hak asasi.
2.    Hak asasi perempuan terkandung visi dan maksud transformasi relasi sosial melalui perubahan relasi kekusaan yang berbasis gender.

        Kedudukan perempuan di Indonesia secara formal cukup kuat sebab banyak ketentuan dalam berbagai UU serta peraturan lain yang memberi perlindungan yuridis padanya. Deklarasi Wina sangat mendukung pemberdayaan perempuan. Pasal 1, 18 menyatakan dengan tegas bahwa “Hak Asasi Perempuan serta anak adalah bagian dari hak asasi yang tidak dapat dicabut dan tidak dapat dipisahkan.

HAK PEREMPUAN DALAM NASKAH
1.    1945 : UUD 1945, pasal 27
2.    1958 : UU No. 68 Tahun 1958, Konvensi Hak politik Perempuan
3.    1984 : UU No. 7 Tahun 1984, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Wanita (CEDAW)
4.    1966/1976 : Kovenan Hak Sipil  dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, pasal 3 (belum diratifikasi Indonesia)
5.    1993 : Deklarsi Wina, pasal 1/18
6.    1998 : S.K. Presiden No. 181, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (komnas Perempuan) didirikan
7.    2002 : Protocol dari CEDAW ditandatangani.
8.    2003 : UU No. 12, PEMILU, pasal 65
   Pemerintah Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat internasional tampaknya menyambut kehendak tersebut, dan ini diwujudkan dalam bentuk UU.

F.  Amandemen II UUD 1945
         Selama 55 tahun tidak berubah, akhirnya UUD 1945 diamandemenkan menurut suatu proses yang panjang. Pada Tahun 1998 melalui TAP No, XVII MPR dirumuskan suatu piagam Hak Asasi Manusia. Jumlah hak asasi ditambah dan dijabarkan dalam 44 pasal.
         Pasal 37 menyatakan beberapa hak, antara lain hak untuk hidup, hak beragama, dan hak intuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
         Pasal 36 juga menetapkan bahwa : “ Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh UU.”
         Suatu hal yang aneh ialah bahwa Amandemen II Agustus tahun 2002, yang diundangkan sesudah UU No. 39 tahun 1999, tetapi sebelum UU No. 26 tahun 2002, sekali lagi mencanangkan bahwa beberapa hak, antara lain hak non-retroaktif, bersifat non-derogable (pasal 28) sedangkan pasal 29 membatasi kembali pembatasan dengan UU. Akan tetapi Amandemen itu tidak menyebut adanya pengecualian untuk pelanggaran berat. Sesudah mengalami beberapa periode dimana konsepsi mengenai hak asasi terus menerus berubah, Indonesia cenderung menganut suatu konsep mengenai hak asasi yang agak berbeda dengan kovenan internasional.
Sumber :
Buku Prof. Mirian Budiarjo