KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahNya kepada penulis sehingga penulis bisa menylesaikan makalah Psikologi yang berjudul “Prasangka” ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga dilimpahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kejahiliaan penuh kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan teknologi seperti saat sekarang ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dosen Pembimbing yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini, serta penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan kemudahan kepada pembaca dalam memahami materi “Prasangka”.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar makalah yang berikutnya bisa lebih baik.
Dumaiu, 15 Februari 2011
SPS
Kata Pengantar .............................................................................................. i
Daftar Isi .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Tujuan Penulisan ......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2
A. Komponen yang Ada Dalam Prasangka ..................................... 3
B. Perbedaan Prasangka dan Curiga ............................................... 4
C. Apakah Stereotip Sebagai Dasar Prasangka?.............................. 4
D. Penyebab, Sumber, dan Cara Mengatasi Prasangka ................... 5
E. Kasus Prasangka ......................................................................... 8
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 9
A. Kesimpulan ................................................................................. 9
B. Saran ........................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prasangka adalah sikap terhadap orang lain semata-mata karena orang itu dianggap anggota kelompok tertentu. Adapun keanggotaan dalam sebuah kelompok tidak bisa diartikan secara konvensional. Kelompok bisa berupa apapun. Tidak hanya geng, pertemanan, organisasi pertetanggaan, etnik dan semacam itu. Tidak juga harus memiliki kartu keanggotaan. Kelompok bisa berarti gaya hidup yang sama, hobi yang sama, cara berpakaian yang sama, pekerjaan yang sama, kelas sosial yang sama, sampai jenis kelamin yang sama. Misalnya Bondan diprasangkai berandalan karena rambut dipotong ala mohawk dan memakai anting di kedua telinga. Ia diprasangkai berandal karena dianggap sebagai anggota geng berandalan yang berciri khas gaya rambut mohawk dan memakai anting di telinga. Padahal Bondan sama sekali tidak ikut geng apapun. Gaya rambut mohawk dan anting sekedar untuk bergaya saja.
Prasangka bisa positif bisa negatif. Prasangka anda merupakan prasangka positif jika mengira mereka yang ikut pengajian agama adalah orang baik semua. Demikian juga saat anda curiga bahwa amplop sumbangan uang sangat besar tanpa nama yang anda terima saat anda tertimpa musibah, adalah berasal dari tetangga anda. Prasangka terhadap dokter juga prasangka positif. Buktinya anda membolehkan sang dokter untuk memberikan suntikan pada anda. Apakah anda tidak curiga kalau sang dokter akan memberikan suntikan maut pada anda? Anda toh berprasangka bahwa sang dokter akan mengobati anda karena sebagai dokter, sudah merupakan tugasnya mengobati orang. Jika anda berprasangka negatif, anda tidak akan mau disuntik bukan?!.
Untuk lebih jelas mengenai prasangka, maka akan penulis bahas pada BAB II berikut ini.
B. Tujuan Penulisan
Dari latar belakang dalam BAB I diatas, maka penulis memiliki beberapa tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu agar para pembaca khususnya mahasiswa-mahasiswi STIA Lancang Kuning Dumai lebih mengerti dan memahami mengenai :
a. Komponen yang Ada Dalam Prasangka
b. Perbedaan Prasangka dan Curiga
c. Apakah Stereotip Sebagai Dasar Prasangka?
e. Contoh kasus mengenai Prasangka
BAB II
PEMBAHASAN
A. Komponen yang Ada Dalam Prasangka
Prasangka mengandung tiga komponen dasar sikap. Ketiganya yaitu perasaan (feeling), kecenderungan untuk melakukan tindakan (Behavioral tendention), dan adanya suatu pengetahuan yang diyakini mengenai objek prasangka (beliefs). Tiga komponen tersebut selalu ada dalam sebuah prasangka.
Perasaan yang dimiliki seseorang yang berprasangka tergantung pada apakah ia berprasangka positif atau negatif. Mereka yang berprasangka positif juga memiliki perasaan yang positif. Misalnya perasaan yang muncul pada seorang dokter yang anda percayai tentunya perasaan yang positif, sekurang-kurangnya netral. Akan tetapi, karena umumnya prasangka adalah negatif, maka pada umumnya perasaan yang terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung benci.
Kecenderungan tindakan yang menyertai prasangka biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan verbal seperti menggunjing, danberbagai tindakan negatif lainnya.
Pengetahuan mengenai objek prasangka biasanya berupa informasi-informasi, yang seringkali tidak berdasar, mengenai latar belakang objek yang diprasangkai. Misalnya anda berprasangka pada waria, maka anda mesti memiliki pengetahuan yang diyakini benar mengenai waria, terlepas pengetahuan itu sesungguhnya benar atau tidak. Misalnya, yakin bahwa waria adalah korban kutukan, percaya bahwa waria melakukan seks bebas dan semacamnya. Sebagian merupakan stereotip belaka. Namun begitu, adakalanya informasi tentang objek yang diprasangkai memang benar.
B. Perbedaan Prasangka dan Curiga
Anda mungkin sedikit bingung kapan sesuatu disebut prasangka dan kapan sesuatu disebut curiga karena keduanya identik. Begini, prasangka adalah sikap yang muncul karena keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu semata-mata. Sikapnya bisa negatif maupun positif. Curiga, adalah sikap yang muncul karena merasa ada yang tidak beres atau tidak benar pada diri seseorang. Tentu saja curiga hanya bersifat negatif. Selain itu curiga tidak hanya muncul karena seseorang merupakan anggota kelompok tertentu. Bisa saja curiga muncul karena faktor-faktor lain, seperti kecenderungan perilaku, kepibadian, dan lainnya. Jika anda memiliki teman yang berbeda etnik dengan anda, lantas anda merasa ada yang tidak beres dengan teman anda itu karena bertingkah aneh. Maka bila anda tidak pernah mengaitkan dengan etnisitasnya, maka anda curiga, bukan prasangka.
Biasanya, curiga muncul setelah ada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya tingkah laku yang aneh dan tidak biasa atau adanya kejanggalan. Sedangkan prasangka terjadi lebih spontan. Tanpa sempat memikirkannya, anda akan langsung berprasangka begitu saja.
C. Apakah Stereotip Sebagai Dasar Prasangka?
Apa yang anda ingat tentang orang Minang? Mungkin pintar berdagang. Apa yang anda ingat tentang mahasiswa perguruan tinggi ternama? Mungkin, pintar. Apa yang anda ingat tentang anak jalanan? Mungkin, tanpa aturan. Apa yang anda ingat tentang orang Jawa? Mungkin, santun dan penurut. Nah, pintar berdagang, pintar, tanpa aturan serta santun dan penurut dalam konteks di atas, adalah stereotip, yakni ciri-ciri yang dilekatkan pada kelompok tertentu. Secara umum stereotip memiliki arti keyakinan mengenai ciri, sifat, dan perilaku anggota kelompok tertentu. Apakah stereotip benar? Tentu saja stereotip bisa benar, namun bisa juga salah. Stereotip adalah generalisasi kesan.
Stereotip biasanya muncul pada orang yang tidak benar-benar mengenal kelompok yang dilekati stereotip. Apakah anda benar-benar mengenal orang Cina, padahal anda memiliki stereotip pelit terhadap mereka? Apakah anda benar-benar mengenal orang Madura, sehingga anda memiliki stereotip agresif pada mereka? Stereotip bahkan bisa diwariskan dari generasi ke generasi tanpa adanya kontak dengan objek stereotip karena stereotip bisa ditimbulkan, diperkuat dan diwariskan melalui media massa, film, obrolan sehari-hari, dan lainnya. Sangat boleh jadi, seseorang yang belum pernah bertemu sama sekali dengan orang Arab, masih tetap memiliki stereotip tentang orang Arab. Misalnya mereka memiliki nafsu seksual yang besar. Dari mana stereotip yang dimiliki berasal? Mungkin dari film, buku-buku, majalah, koran, atau dari obrolan sehari-hari yang didengar.
Stereotip mendasari terbentuknya prasangka. Dasar informasi yang diyakini benar tentang objek yang diprasangkai, biasanya merupakan stereotip. Misalnya anda percaya bahwa orang beragama lain yang berniat membantu pasti tidak tulus. Mereka membantu karena bermaksud menyebarkan agama. Nah, keyakinan itu adalah stereotip. Tentu saja stereotip itu tidak benar, karena tidak semua yang membantu tidak tulus hatinya. Lalu pada saat anda tahu ada seorang yang beragama lain membantu anda, maka anda menyimpan prasangka padanya.
Penyebab pendorong muncul prasangka:
- Untuk meningkatkan citra diri/konsep diri/harga diri. Prasangka dapat memainkan sebuah peran penting untuk melindungi atau meningkatkan konsep diri mereka. Ketika individu dengan sebuah prasangka memandang rendah sebuah kelompok, hal ini membuat mereka yakin akan harga diri mereka sendiri.
- Menghemat usaha kognitif (prinsip heuristic). Ketika stereotip terbentuk, kita tidak perlu melakukan proses berpikir yang hati-hati dan sistematis, karena kita sudah “tahu” seperti apa anggota kelompok ini.
Sumber prasangka ada 5, yaitu:
- Konflik langsung antar kelompok. Berdasarkan Teori Konflik Realistik (Realistic Conflict Theory) di mana prasangka muncul karena kompetisi antar kelompok social untuk memperoleh kesempatan atau komoditas yang berharga yang berkembang menjadi rasa kebencian, prasangka dan dasar emosi.
- Pengalaman awal. Berdasarkan Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory), prasangka dipelajari dan dikembangkan dengan cara yang sama serta melalui mekanisme dasar yang sama, seperti sikap yang lain yakni melalui pengalaman langsung dan observasi/vicarious.
- Kategorisasi Sosial, yakni kecenderungan untuk membuat kategori social yang membedakan antara in-group—“kita”—dengan out-group—“mereka”. Kecenderungan untuk memberi atribusi yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompooknya sendiri daripada anggota kelompok lain terkadang dideskripsikan sebagai kesalahan atribusi utama (ultimate attribution error), yang sama seperti self serving bias hanya saja terjadi dalam konteks antar kelompok. Kategori social ini menjadi prasangka, dapat dijawab berdasarkan Teori Identitas Sosial (Identitty Theory) dari Tajfel. Teori ini mengatakan bahwa individu berusaha meningkatkan self-esteem mereka dengan mengidentifikasikan diri dengan kelompok social tertentu.
- Stereotip—kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok social tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok ini. Ketika sebuah stereotip diaktifkan, trait-trait ini lah yang dipikirkan.
- Mekanisme kognitif lain: a) Ilusi tentang hubungan (illusory correlation) yaitu kecenderungan melebih-lebihkan penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang relatif kecil. Efek ini terjadi karena peristiwa yang jarang terjadi menjadikannya lebih menonjol dan dengan mudah diingat; b) ilusi homogenitas Out-Group (illution of out-group homogeneity) yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan orang-orang dari kelompok lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa. Lawan dari kecenderungan tersebut adalah perbedaan in-group (in-group differentiation) yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan anggota kelompoknya dalam menunjukkan keragaman yang lebih besar satu sama lain (lebih heterogen) daripada kelompok-kelompok lain.
Berikut berbagai cara untuk mengatasi prasangka:
- Memutuskan siklus prasangka: belajar tidak membenci karena dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dengan cara mencegah orang tua dan orang dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatic.
- Berinteraksi langsung dengan kelompok berbeda: i) contact hypothesis—pandangan bahwa peningkatan kontak antara anggota dari berbagai kelompok sosial dapat efektif mengurangi prasangka diantara mereka. Usaha-usaha tersebut tampaknya berhasil hanya ketika kontak tersebut terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu. ii) extended contact hypothesis—sebuah pandangan yang menyatakan bahwa hanya dengan mengetahui bahwa anggota kelompoknya sendiri telah membentuk persahabatan dengan anggota kelompok out-group dapat mengurangi prasangka terhadap kelompok tersebut.
- Kategorisasi ulang batas antara “kita” dan “mereka” hasil dari kategorisasi ulang ini, orang yang sebelumnya dipandang sebagai anggota out-group sekarang dapat dipandang sebagai bagian dari in-group.
- Intervensi kognitif: memotivasi orang lain untuk tidak berprasangka, pelatihan (belajar untuk mengatakan “tidak” pada stereotype).
- Pengaruh social untuk mengurangi prasangka.
KASUS PRASANGKA
MA Jangan Prasangka Buruk
Jakarta, Kompas - Belum selesainya perseteruan Mahkamah Agung atau MA dengan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK soal audit biaya perkara mengundang perhatian mantan hakim agung Bismar Siregar. Ia mengkritik sikap MA yang dinilai selalu ingin menang sendiri, termasuk soal biaya perkara.
Bismar mengimbau MA tidak berprasangka buruk atas niat BPK mengaudit biaya perkara. Audit itu justru dilakukan demi perbaikan dan bukan untuk menyalahkan MA. Karena itu, MA harus bersedia diaudit.
Demikian diungkapkan Bismar di sela-sela diskusi Gerakan Jalan Lurus di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (21/5).
Menurut Bismar, biaya perkara memang bukan uang negara. Namun, hal itu tidak lantas membuat biaya perkara bebas audit. Apalagi di era yang mengedepankan transparansi seperti saat ini. Ia tidak mengetahui mengapa MA begitu kukuh dengan sikapnya yang tidak bersedia diaudit.
Bismar mencontohkan ketika dirinya menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara tahun 1970-1980. Saat itu ia menetapkan biaya perkara sebesar Rp 25.000. Ia mempersilakan ketika hendak diperiksa.
Menurut dia, biaya perkara itu digunakan untuk dana pembangunan, baik fisik maupun psikis (tambahan penghasilan bagi hakim dan karyawan pengadilan). ”Waktu itu saya tak menolak untuk diperiksa. Silakan diperiksa dan hasilnya bersih,” katanya.
Wakil Ketua MA Bidang Non- Yudisial Harifin A Tumpa mengatakan, MA tak pernah berprasangka buruk kepada BPK. Audit biaya perkara tidak memiliki dasar hukum. Dasar hukum itu merupakan hal yang prinsipiil.
Penggunaan biaya perkara, paparnya, saat ini sudah berbeda dengan era 1970-an saat Bismar menjabat hakim. (ana)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab II diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa prasangka memang sebuah keburukan yang harus dihindari. Moralitas agama-agama malah menyebutnya sebagai dosa. Prasangka disebutkan sebagai penyakit hati. Dalam kehidupan sehari-hari, padanan kata prasangka minimal ada 3, yakni curiga, buruk sangka, dan su’udzon (berasal dari bahasa arab). Semuanya dinilai buruk. Setiap orang diharapkan untuk berlaku sebaliknya, yakni percaya, baik sangka dan uz’nudzon. Tapi toh, meski demikian, prasangka adalah sesuatu yang masif terjadi dalam kehidupan sosial. Jika penelitian yang menunjukkan 80% orang berprasangka itu memang benar, hanya kurang dari 20% manusia yang tidak berprasangka. Merekalah, yang 20% itu, yang mampu menjadi penyeimbang dalam kehidupan sosial. Sejumlah 20% orang yang tidak berprasangka akan menjadi wasit bagi mereka yang berprasangka. Perbandingannya 1 berbanding 5. Jika yang 4 orang berprasangka, maka ada satu orang yang diharapkan bisa meredamnya. Bisa dengan cara mengingatkan jika orang berprasangka, memberi contoh tindakan penuh toleransi tanpa prasangka, atau yang lain.
B. Saran
Setelah membahas materi mengenai Prasangka pada mata kuliah psikologi maka ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan yaitu :
1. Supaya para pembaca khususnya mahasiswa-mahasiswi STIA Lancang Kuning Dumai bisa menghindari prasarang negatif yang ada dalam diri.
2. Supaya dengan adanya makalah ini bisa memberi pelajaran berharga kepada kita sebagai makhluk sosial yang berkelompok dengan menjauhkan prasangka.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. (1982). Psikologi Sosial. Surabaya : PT. Rineka Cipta.
Irwanto (2002). Psikologi Umum. Jakarta : PT. Prenhallindo.
Panjaitan, L. N. (1995). Prasangka Sosial. Anima. Vol. X, No. 38, Hal. 78-80. Surabaya : Fakultas Psikologi Ubaya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Prasangka
http://www.kompas.com/